Sumber foto: focusonthefamily.com |
Bahasan mendisiplin anak selalu menjadi topik yang dicari banyak orang tua. Displin bagi beberapa orang terdengar tidak enak karena berarti saat mendisiplin akan ada situasi yang tidak menyenangkan. Terkadang kita dihadapkan pada situasi yang berat antara mendisiplin dan rasa tidak tega untuk mendisiplin. Bahkan terkadang pula keengganan untuk mendisiplin muncul karena rasa cuek kita terhadap anak atau bahkan karena rasa bersalah kita karena kita jarang meluangkan waktu dengan anak-anak. Jadinya tidak enak hati untuk mendisiplin. Bahkan terkadang salah kaprahnya, beberapa orang tua merasa sekolah dan bahkan gereja bertanggung jawab mendisiplin anak dan juga menanamkan nilai-nilai yang baik.
Mendisiplin anak merupakan salah satu bagian yang penting dalam parenting. Tuhan memberikan tanggungjawab pada setiap orang tua untuk membesarkan anaknya, yang berarti juga untuk mendisiplin dan mendidik anak-anaknya. Ada begitu banyak pendapat mengenai cara yang baik untuk mendisiplin. Saat saya menjadi 'orang tua' secara tidak langsung, saya dihadapkan kepada banyak pilihan untuk mendisiplin. Artikel satu dan yang lainnya seakan bagus tetapi belum tentu dapat diterapkan. Tetapi satu hal yang pasti buat saya, saat ingin mendisiplin, ikutilah firman Tuhan dan rancangan Tuhan untuk membentuk keluarga yang ilahi dan menanamkan nilai-nilai, karakter yang diinginkan.
Saya pernah membaca suatu artikel di focusonthefamily.com mengenai disiplin yang biblikal, yang diambil dari Ibrani 12: 4 - 11. Saya mencoba menuliskan lima karakteristik disiplin yang biblikal tersebut. Bagi yang ingin membaca lima karakteristik tersebut dalam versi aslinya dan dalam pemaparan yang lebih mendalam, silakan klik link di atas ya.
1. Kebutuhan disiplin: untuk mencegah kerusakan.
Pernah mendengar ilustrasi tentang memberikan kunci mobil kepada si anak dan membiarkannya mengendarai sesuai maunya? Jika si anak mengambil rute yang salah dan kita tahu rute yang salah itu akan memimpin dia menuju jurang, apa yang akan kita lakukan? Pasti kita akan mengambil tindakan untuk mencegah si anak jatuh ke dalam jurang. (Tidak mungkin setelah jatuh, kita baru berkata: "Nak, jalan yang kamu ambil itu salah. Tetapi kami membiarkanmu memilih supaya kamu belajar") Awalnya si anak akan marah untuk sementara, tetapi setelah 10 tahun ke depan dia akan berterimakasih. Disiplin dapat diibaratkan seperti kisah diatas. Untuk mencegah bahaya, terkadang tindakan untuk mendisiplin anak harus dilakukan. Disiplin dapat dianggap sebagai cara kita melihat arah yang akan diambil oleh anak kita Setiap disiplin menghasilkan reward di hari yang akan datang.
Banyak orang tua tidak mau mendisiplin atau menetapkan aturan tertentu karena takut untuk membuat anaknya marah. Atau dapat dikatakan tidak mau ada konflik dengan anak. Padahal, disiplin, bahkan disiplin yang menyakitkan, sesungguhnya merupakan ekspresi dari kasih. Displin selalu demi kebaikan si anak. Walau kita tidak ingin mengecewakan anak, tidak mau melihat anak menangis, tetapi tidak mengkompromikan disiplin dengan rasa takut tidak disayangi anak saat ini akan jauh lebih baik daripada menyesal dikemudian hari.
2. Cara disiplin: Tindakan dan Kata-kata
Ada dua kata Ibrani yang digunakan saat menjelaskan tentang mendisiplin, yaitu yasar (disiplin), yang melibatkan tindakan Tuhan; dan yakach (teguran), yang mengacu pada firman Tuhan. Yasar mengacu pada tindakan pendisiplinan, dan yakach mengacu kepada kata-kata untuk mengkoreksi. Sebagai orang tua, seharusnya demikian cara kita mendisiplin anak. Kita membawa kata-kata dan tindakan, peringatan dan konsekuensi, ke dalam situasi anak kita dengan tujuan untuk menjaga mereka dalam track yang seharusnya.
3. Motivasi saat mendisiplin: Untuk mengekspresikan kasih.
Saat anak-anak yang dikategorikan sebagai anak bermasalah dan nakal ditanya mengenai perasaan orang tua mereka kepada mereka, sebagai bagian dari riset, hampir semuanya menjawab bahwa kurangnya disiplin dalam rumah mereka adalah tanda bahwa orang tua mereka tidak mengasihi mereka. Kita terkadang berpikir bahwa kita mengekspresikan kasih saat kita berulang kali mengatakan, "Saya berikan kamu kesempatan lagi." Tetapi sesungguhnya, apa yang kita lakukan itu dapat dikategorikan sebagai pengabaian. Kita mengabaikan untuk membuat batasan-batasan yang membuat anak-anak kita tahu bahwa mereka berada di safety zone (zona aman), dimana mereka dapat merasa secure atau aman. Salah satu cara menyatakan kasih sayang kita saat mendisiplin anak adalah dengan konsistensi. Anak akan merasa aman jika proses pendisiplinan kita kepada anak dilakukan secara konsisten.
4. Tujuan disiplin: untuk mengajarkan ketaatan.
Saat kita mengajarkan anak-anak kita mengenai penundukan diri, berarti kita sedang mengajarkan mereka untuk melakukan hal yang benar untuk alasan yang benar. Kita mau mereka untuk mengerti lebih dari sekedar berkata saya harus, mereka mengerti bahwa mereka taat karena mereka mengasihi dan percaya. Pada awalnya mungkin kedisiplinan mereka hanya secara eksternal (tampak luar), tapi sesungguhnya lama-kelamaan akan menjadi sesuatu yang internal- yang terintegrasi ke dalam kepribadian, menjadi disiplin pribadi, bukan sekedar disiplin yang jaim (jaga image). Cara anda mengatur bagaimana mereka berbicara dan bertingkah laku terhadap orang haruslah menjadi bagian dari diri mereka, sehingga saat regulasi atau aturan-aturan tersebut dihilangkan, tingkah laku yang sopan itu ada. Dengan kata lain, karakter mereka pun terbentuk.
5. Hasil disiplin: Sakit jangka pendek dan keuntungan jangka panjang.
Alasan mengapa kita tidak suka mendisiplin anak-anak kita adalah karena disiplin melibatkan sakit jangka pendek. Kita simpati terhadap perasaan mereka, dan kita tidak pernah suka untuk menyakiti perasaan mereka. Disiplin, dalam bentuk apapun itu, pasti menghasilkan ketidaknyamanan bagi anak yang harus didisiplin. Tetapi di masa yang akan datang, dengan landasan disiplin yang benar, akan mendatangkan keuntungan di masa yang akan datang. Seperti peribahasa: berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian; yang artinya bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Nah, berdasarkan lima karakteristik tersebut, saya mencoba
untuk menuangkan apa yang berputar di otak saya mengenai disiplin dan bagaimana
cara mendisiplin anak.
1. Disiplin dimulai seawal mungkin.
Banyak yang berkata anak kecil yang terlalu sering
dilarang dan mendengar kata jangan atau no akan menjadi anak yang tidak
kreatif. Kalau menurut saya, kata-kata tersebut asal digunakan pada tempatnya
tidak akan mengurangi kreatifitas anak dan tidak membuat anak menjadi
berantakan. Justru harus dari kecil diberi tahu mana yang baik dan yang tidak baik,
supaya mereka mengerti konsepnya dari sejak mereka kecil. Kesalahkaprahan akan
terjadi saat orang tua (atau oma opa) berkata tidak apa-apa, kan masih kecil.
Ini dapat diartikan bahwa disiplin dapat dimulai saat anak-anak sudah besar
(teng tong).
Disiplin harus dimulai sedini mungkin, dan tentu saja
cara pendisiplinan disesuaikan dengan umurnya. Memulai disiplin saat anak sudah
umur 10 tahun berarti membiarkan terbentuknya habit atau kebiasaan yang tidak
baik. Bahkan bayi dapat dengan cepat menjadi manipulator hebat bagi orang
tuanya, atau bahkan bagi oma opanya. Cara kita merespon manipulasi anak kita dari
sejak dia bayi akan menentukan hasil di masa yang akan datang. Semakin lama
kita mendisiplin anak, semakin besar rintangan yang akan ada. Anak-anak harus
belajar menaati orang tuanya sedini mungkin. Menaati dan menghormati haruslah
menjadi satu bagian. Penting bagi anak untuk menaati orang tua (melakukan apa
yang orang tua katakan). Tetapi dasar mereka melakukannya adalah karena mereka
menghormati dan mengasihi orang tua mereka. Hal ini yang harus ditanamkan
sedini mungkin. Kami sendiri mengajarkan ini melalui lagu anak-anak yang
liriknya berkata children obey
your parents in the Lord...honor your father and mother... Jadi mereka belajar untuk mengingat kebenaran
itu. Walau adik pernah salah bernyanyi menjadi: parents, obey your
children in the Lord dan
langsung dibetulkan oleh papa.Entah salah nyanyi atau memang ada maksud tersendiri =))
2. Jadilah
orang tua yang kreatif dalam mencari cara untuk mendisiplin anak.
Respon setiap anak terhadap disiplin bisa berbeda-beda. Kakak dan adik saja bisa berbeda
dalam hal merespon setiap koreksi. Bahkan mood ataupun kondisi tubuh yang tidak
fit saja dapat mempengaruhi respon si anak saat mendapatkan koreksi ataupun
disiplin. Hal ini dapat dipahami karena Tuhan menciptakan setiap anak secara
unik. Oleh sebab itu, kita pun harus menjadi orang tua yang kreatif dalam
mencari cara untuk mendisiplin anak. Dan jika kita sudah berusaha untuk
mendisiplin tetapi tidak berhasil, bukan berarti bahwa kita bisa mengabaikan
mereka. Tetapi harusnya kita bekerja lebih keras mencari cara yang berbeda
untuk mendisiplin anak.
3. Diperlukan konsistensi dan kesepakatan saat mendisiplin.
Konsistensi adalah hal yang penting saat mendisiplin anak. Anak-anak sangat mengerti dan jago dalam mengamati orangtuanya. Apalagi bagi anak-anak yang juga tinggal bersama oma opanya. Anak-anak tahu dengan pasti siapa yang harus mereka lirik saat mereka menangis, mau sesuatu atau saat mereka sedang dalam disiplin. Sekali kita tidak konsisten, maka anak akan mengingat dan akan menarik kesimpulan bahwa mereka bisa bargaining atau menawar di masa yang akan datang. Konsistensi juga membuat anak tahu apakah ekspektasi atau harapan dari orang tua mereka saat mereka didisiplin.
Selain konsistensi, kesepakatan antara ayah dan ibu merupakan hal yang penting. Jika ayah dan ibu tidak sepakat, maka ini akan menjadi boomerang bagi orangtuanya saat mendisiplin. Jika ternyata orang tua mau memberikan keringanan saat mendisiplin, maka harus pihak yang memberikan disiplin yang menyampaikan ke si anak. Jadi anak tahu bahwa orang tua mereka satu suara. 4. Terkadang diperlukan 'tongkat koreksi'.
Pola parenting anak masa kini cenderung meniadakan tindakan fisik kepada anak. hal ini tidak sepenuhnya salah, tapi sebetulnya boleh tidak sih pukulan atau tindakan fisik? Saya pribadi masih menganut paham 'tongkat koreksi' terkadang diperlukan saat mendisiplin anak. Tetapi hendaknya tongkat koreksi ini diaplikasikan dalam kondisi-kondisi yang memang diperlukan. Jika si anak sudah melakukan hal yang sangat berbahaya, atau bahkan membahayakan orang lain, dan sudah diperingatkan tiga kali (atau sesuai kesepakatan dalam keluarga) tetapi diabaikan, maka tongkat koreksi diperlukan. Dan pastikan saat menggunakannya tidak dilandasi amarah, supaya anak menangkap tujuan penggunaan tongkat koreksi. Tetapi jika orang tua tidak dapat mengendalikan diri sendiri dan bahkan memukul anak secara bertubi-tubi, maka orang tua tersebut harus mengerti bahwa ia kekurangan disiplin terhadap diri sendiri, belum dapat mengendalikan diri, dan sebaiknya ia sendiri berdoa supaya Tuhan mengubah orang tua ini sebelum ia menggunakan tongkat koreksi. Penggunaan tongkat koreksi pun harus secara konsisten.
Saat saya mengurus keponakan saya, teman baik saya -yang sudah seperti kakak saya sendiri- mengatakan bahwa jika harus mendisiplin anak, sebaiknya menggunakan alat dan bukan tangan kita. Tujuannya agar anak tahu bahwa tangan yang biasa mengelus dia, yang menjadi alat untuk menunjukkan kasih dan kelembutan, bukanlah alat pemukul. Saat kakak lahir, kami mencoba menerapkan hal tersebut. Kami menggunakan sendok kayu khusus dan kami letakkan di tempat yang tepat. Saat kami terpaksa harus mendisiplin anak-anak dengan sendok kayu, kami tenangkan hati kami, supaya bukan emosi yang sampai kepada dia tetapi tujuan dan alasan pendisiplinan. Bahkan setelah tongkat koreksi diberikan, kami mencoba untuk berbicara lagi kepada mereka mengapa kami harus menggunakan sendok kayu. Tidak mudah juga loh terkadang.
Saya sendiri waktu kecil jarang kena disiplin secara fisik. Tetapi ibu saya pernah berkata kepada kakak saya yang waktu kecil sering dipukul (ulahnya sangat luar biasa dan bisa menjawab saat diomeli), bahwa di Alkitab ada ayat-ayat yang terdapat di kitab Amsal yang dapat menjelaskan mengenai tongkat koreksi. Bagi teman-teman yang mau mengetahui secara lebih dalam, silakan dibuka ayat-ayat berikut: Amsal 13:24, Amsal 22:15, Amsal 23: 13-14, Amsal 29:15, dan Ibrani 12:11.
Saat saya mengurus keponakan saya, teman baik saya -yang sudah seperti kakak saya sendiri- mengatakan bahwa jika harus mendisiplin anak, sebaiknya menggunakan alat dan bukan tangan kita. Tujuannya agar anak tahu bahwa tangan yang biasa mengelus dia, yang menjadi alat untuk menunjukkan kasih dan kelembutan, bukanlah alat pemukul. Saat kakak lahir, kami mencoba menerapkan hal tersebut. Kami menggunakan sendok kayu khusus dan kami letakkan di tempat yang tepat. Saat kami terpaksa harus mendisiplin anak-anak dengan sendok kayu, kami tenangkan hati kami, supaya bukan emosi yang sampai kepada dia tetapi tujuan dan alasan pendisiplinan. Bahkan setelah tongkat koreksi diberikan, kami mencoba untuk berbicara lagi kepada mereka mengapa kami harus menggunakan sendok kayu. Tidak mudah juga loh terkadang.
Saya sendiri waktu kecil jarang kena disiplin secara fisik. Tetapi ibu saya pernah berkata kepada kakak saya yang waktu kecil sering dipukul (ulahnya sangat luar biasa dan bisa menjawab saat diomeli), bahwa di Alkitab ada ayat-ayat yang terdapat di kitab Amsal yang dapat menjelaskan mengenai tongkat koreksi. Bagi teman-teman yang mau mengetahui secara lebih dalam, silakan dibuka ayat-ayat berikut: Amsal 13:24, Amsal 22:15, Amsal 23: 13-14, Amsal 29:15, dan Ibrani 12:11.
5. Tetaplah tenang dan kendalikan diri kita saat mendisiplin
Saat anak-anak berulah, pastilah emosi kita sampai ke
ubun-ubun, bahkan terkadang sampai keluar kepala. Rasanya pasti ingin meluapkan
emosi, apalagi bagi para mama-mama pasti mau nyerocos dari A sampai Z. Pada
saat seperti itu, ingatlah bahwa kita mempunyai otoritas atas anak-anak dan
otoritas yang kita miliki adalah otoritas yang diberikan oleh Tuhan. Karena
diberikan dan ditetapkan oleh Tuhan, maka kita tidak perlu hilang kendali atau
bahkan berteriak. Saya terkadang berpikir sebetulnya saat kita berteriak atau
menaikkan suara kita karena kita frustasi ngomong tidak didengar oleh si anak
(atau suara si anak lebih besar dari kita). Dan setelah kita naik suara, pasti
kita juga yang capek kan. Sebetulnya mungkin yang harus kita lakukan hanyalah
tenang dan sadar posisi kita. Saat kita sadar posisi kita, sebagai pemegang
otoritas atas anak kita, maka kita hanya perlu menerima tanggung jawab untuk
mendisiplin anak kita dan secara yakin menetapkan konsekuensi (yang sesuai
kebutuhan dan umur) dari tindakan ketidaktaatan anak kita.
6. Fokus kepada tujuan pendisiplinan, yaitu karakter ilahi.
Masih berhubungan dengan poin 5, salah satu cara untuk
membuat kita tetap tenang dan dapat mengendalikan diri adalah kita berfokus
pada tujuan pendisiplinan. Bagi sebagian orang, saat mereka emosi, mereka bisa
memukul sampai bertubi-tubi. Sebetulnya ini bentuk frustasi mereka karena
mereka sudah bingung mau melakukan apa lagi terhadap si anak. Saya bisa
memahami, tidak membenarkan loh ya, kenapa mereka
melakukan hal seperti itu. Apalagi jika mereka mengorbankan banyak hal untuk mengurus anak mereka. Tetapi jika kita berfokus pada tujuan pendisiplinan,
yaitu karakter ilahi, pasti kita dapat memilih cara yang lebih tepat untuk
mendisiplin anak.
Kami selalu menjelaskan kepada anak-anak bahwa apapun
yang terjadi kami mengasihi mereka, dan saat kami mendisiplin adalah
karena mereka perlu didisiplin dan kami mengasihi mereka. Tentunya tidak mudah,
kadang mau menangis rasanya. Tetapi ya kasih karunia Tuhan cukup bagi
kami.
7. Perlunya teknis dalam mendisiplin anak.
Harus diakui, terkadang adanya juklak (petunjuk pelaksanaan)
atau teknis itu mempermudah hidup kita untuk mendisiplin anak-anak kita.
Hal-hal seperti ini tentunya merupakan kesepakatan antara si ayah dan si ibu.
Kami di rumah menerapkan sistem kesepakatan dengan anak. Misal, jika mereka
tidak tidur siang, maka mereka tidak dapat menonton film X (karena otomatis
mereka harus tidur lebih awal). Nah, saat mereka tidak tidur siang, mereka tahu
konsekuensinya tidak akan menonton film X. Mau mereka nangis, ngelirik oma opa,
mereka tahu tetap tidak akan menonton film X. Hal ini dipermudah karena kami
sudah membuat kesepakatan di awal, bukannya konsekuensi diketahui oleh anak
sesudah mereka melakukan 'pelanggaran'. Dengan kata lain, aturan main diketahui
kedua belah pihak sebelum segala sesuatu, seperti saat kita main game kan.
Saat saya menulis artikel ini, saya menunda cukup lama karena rasanya berat untuk menuliskannya, setiap hal menjadi pedang bermata dua bagi saya. Tetapi akhirnya saya menulis karena disiplin itu sangat penting. Jangan takut untuk mendisiplin anak. Mendisiplin anak tidak berarti kita mencari celah untuk memukul anak setiap saat. Mendisiplin juga tidak berarti membuat anak tidak dapat bereksplorasi karena dibatasi kata tidak dan jangan. Disiplin itu merupakan suatu hal yang harus dilakukan sedini mungkin dan bukanlah hal yang tampak menyenangkan, karenan memulai konflik dengan anak sendiri. Tetapi hasilnya akan lebih menyenangkan, yaitu karakter ilahi.
Kami pun masih berjuang untuk mendisiplin anak-anak dan seringkali kami mau meledak dan berteriak. Tetapi sama seperti proses bagi anak-anak untuk didisiplin, ini merupakan proses bagi kami juga untuk mengedalikan diri kami:) Yang membuat kami tetap berjuang untuk mendisiplin anak-anak adalah tujuan kami agar anak-anak mempunyai karakter ilahi sehingga saat di masa yang akan datang anak-anak menjadi pribadi yang berkarakter dan berintegritas, yang berarti tetap melakukan segala hal yang baik bukan untuk dilihat orang tetapi karena mereka mengasihi Tuhan. Ingatlah tindakan kita saat ini akan membantu anak-anak kita memelajari bagaimana cara mereka nanti untuk hidup benar bagi lingkungannya. Anak-anak dapat tumbuh dengan karakter ilahi jika kita meluangkan waktu kita untuk menanamkan setiap disiplin ke dalam hidup mereka saat ini. Only by His grace, we can do that.
Kami pun masih berjuang untuk mendisiplin anak-anak dan seringkali kami mau meledak dan berteriak. Tetapi sama seperti proses bagi anak-anak untuk didisiplin, ini merupakan proses bagi kami juga untuk mengedalikan diri kami:) Yang membuat kami tetap berjuang untuk mendisiplin anak-anak adalah tujuan kami agar anak-anak mempunyai karakter ilahi sehingga saat di masa yang akan datang anak-anak menjadi pribadi yang berkarakter dan berintegritas, yang berarti tetap melakukan segala hal yang baik bukan untuk dilihat orang tetapi karena mereka mengasihi Tuhan. Ingatlah tindakan kita saat ini akan membantu anak-anak kita memelajari bagaimana cara mereka nanti untuk hidup benar bagi lingkungannya. Anak-anak dapat tumbuh dengan karakter ilahi jika kita meluangkan waktu kita untuk menanamkan setiap disiplin ke dalam hidup mereka saat ini. Only by His grace, we can do that.
Next: Disiplin atau Hukuman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar