Kamis, 28 Juli 2016

Disiplin Atau Hukuman?

Sumber foto: www.parenting.com

Masih seputar topik mendisiplin anak. Rasanya topik ini akan selalu menjadi bahan omongan dari zaman baheula sampai zaman yang akan datang. Hehehe. Saat membahas tentang disiplin, pasti kita akan ketemu dengan namanya konsekuensi atas disiplin itu. Nah, buntutnya pasti akan timbul pertanyaan sejauh manakah suatu konsekuensi yang ditanggung anak dikatakan hukuman dan sejauh manakah hal tersebut dikategorikan disiplin. Saya dan suami pun masih sering bingung dengan hal tersebut. Kami ingin membuat anak mengerti bahwa kami tidak mau menghukum mereka, tetapi kami mau mendisiplin mereka. Dan seringkali orang lain di rumah, karena latar belakang mereka saat kecil ataupun karena mereka dulunya menghukum anak-anak mereka, salah mengartikan apa yang kami lakukan. Akibatnya terkadang anak jadi punya persepsi yang salah.

Bagaimana dengan hukuman? Konsep dasar hukuman adalah membayar seseorang berdasarkan perbuatannya, dan biasanya selalu menyiratkan sesuatu yang bersifat fisik. Yang tidak bersifat fisik juga dapat dikategorikan sebagai hukuman (jika tidak ada kesepakatan dan dalam jangka waktu yang terlalu lama). Sering kali, tanpa disadari, kita menghukum anak atas perbuatannya. Misal, anak kita makannya lama. Lalu kita berkata kepada si anak: "Sekarang kamu berdiri dan pegang piring kamu sambil makan sambil makanan kamu habis." Atau bisa juga si anak makannya sambil jalan-jalan. Lalu si Ibu berkata, kalau kamu turun dari bangku, Ibu pukul pakai hanger. Atau ada lagi seorang Ibu yang dengan bangga bercerita pada saya kalau anaknya makannya cepat karena dulu kalau makan lebih dari 30 menit, makanan anaknya dibuang dan anak tidak akan dapat makanan sampai jam makan berikutnya. Di satu sisi contoh-contoh diatas terlihat sepertinya memberikan efek jera kepada si anak, dan si anak jadi makan cepat, tetapi sebetulnya ada suatu aktifitas yang bertujuan untuk menghukum anak, menurut saya ya.

Saya tahu sekali rasa sebal dan frustasi kalau punya anak yang makannya lama, si adik juga makannya tergantung mood, kadang cepat kadang lama. Rasanya seluruh waktu hanya tersita untuk si kecil ini. Tetapi mungkin karena saya waktu kecil lebih lama dari dia, jadi saya tidak pernah menghukum dia. Lebih tepatnya sedikit tricky dengan dia. Lalu, bagaimana caranya supaya makannya jauh lebih cepat? Saya juga bingung jawabnya. Dari saat anak-anak belajar makan, anak-anak biasa duduk di high chair dan makan sendiri. Saya menyuapi dia, dan di meja dia juga ada piring berisi makanan. Tetapi begitu besar, adik mulai berulah makannya. Biasanya sih adik akan duduk saat makan bersama. Makan sendiri, tapi ya gayanya dia. Tetapi begitu satu persatu selesai, dia akan mulai kabur juga. Ya mau tidak mau, akan ada panggilan untuk dia kembali duduk. Tetapi karena ada kesepakatan jika makan tidak habis, tidak dapat nonton film favorit mereka, ya kami hanya akan mengingatkan kesepakatan itu. Atau kalau dia kabur dari bangku, saya akan duduk bersama dia dan memegang dia sampai makannya habis. Kalau memang pas saya sedang sibuk banget, saya agak fleksibel, agak merem dulu kalau dia makannya lama dan sambil main. Entah ini disiplin atau tidak menurut orang lain, tetapi setidaknya bagi saya tidak ada bentuk hukuman fisik untuk si kecil.

Sebetulnya, apa sih perbedaan hukuman dan disiplin?
1. Hukuman bertujuan untuk menghukum si anak akibat suatu pelanggaran yang terjadi di masa lampau. Sedangkan disiplin bertujuan untuk mengkoreksi anak dan mendewasakannya sehingga di masa yang akan datang si anak tidak mengulanginya.
2. Hukuman muncul karena pelanggaran yang terjadi di masa yang lampau, biasanya setelah si anak berbuat, barulah si orang tua berkata kamu bla bla bla dan kemudian menghukumnya. Sedangkan karena disiplin bertujuan untuk mengkoreksi, maka dalam pendisiplinan ada yang namanya kesepakatan sebelum suatu pelanggaran terjadi. Jadi suatu tindakan pencegahan.
3. Dalam hukuman, seringkali rasa frustasi yang menjadi landasannya. Kita merasa frustasi kenapa anak kita tidak bisa dibilangi, dan terkadang, dalam bahasa yang agak lebay, kita merasa dikhianati oleh anak kita saat mereka melakukan pelanggaran. Sedangkan dalam disiplin, yang menjadi landasan adalah rasa sayang kita akan si anak sehingga kita concern akan sikapnya. Biasanya awalnya adalah rasa sayang dan concern kita akan sikap si anak, tapi setelah berbagai cara  kita lakukan, kita lama-lama frustasi. Saya juga kadang berpikir begitu kok, kalau sudah sampai titik ini, yang harus dilakukan adalah duduk manis, cari kopi, merenungkan kembali, dan berdoa supaya saya tidak lari dari landasan yang tepat. 
4. Karena terbentuk dari rasa frustasi dan hukumannya tidak pernah disepakati sebelumnya (atau disepakati tetapi terlalu bermain fisik), akibat dari hukuman adalah rasa insecure, dan takut. Karena takut, sebagian anak akan belajar untuk berbohong supaya tidak dihukum. Berbeda dengan disiplin, karena dasarnya adalah kasih dan sudah ada kesepakatan sebelumnya, jadi si anak tahu apa yang akan terjadi jika dia melakukan suatu pelanggaran, anak akan merasa aman. Walaupun saat mendisiplin akan ada drama sedikit, kan senjata utama anak kecil adalah air mata, tetapi karena mereka tahu konsekuensi dari apa yang mereka lakukan, maka jika mendapatkan konsekuensi dia tetap tahu orang tuanya sayang dia.

Pernah suatu kali seorang anak laki-laki berumur 5 tahun, katakanlah A, bermain dorong-dorongan dengan anak lain yang baru umur 3 tahun, katakanlah B, di depan saya dan ibu dari si B. Lalu mungkin dorongnya terlalu kuat, karena secara badan si B sama besarnya dengan si A, maka si A terjatuh. Lalu teman si A bilang si B memukul A sampai jatuh. B yang masih 3 tahun bingung saat ditanya oleh mamanya. Karena bingung, B berkata dia tidak memukul A. Si A ngotot berkata iya, dan berkata pasti B tidak mau bilang karena takut dimarahi mamanya. Akhirnya ibu dari si B bertanya lagi, dengan bahasa yang lain, dan si B baru mengakui kalau si B mendorong si A karena sedang bermain. Masalah terselesaikan dengan si B meminta maaaf dan memeluk si A. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah kata-kata si A yang mengatakan pasti tidak mau mengaku karena takut dimarahi. Bisa jadi di rumah seringkali si A dimarahi atau dihukum karena melakukan sesuatu. Bisa jadi juga dia tidak mengaku saat ditanya, atau mengaku tetapi membuat pembelaan diri yang sangat bagus. Jadi dengan pengalaman dia, dia berasumsi hal yang sama. Saat itu saya baru mengerti dengan baik hasil dari hukuman terhadap sisi emosi si anak.

Ada juga soal yang diberikan oleh teman saya yang ahli dalam hal ini kepada kami saat pelatihan guru sekolah minggu. Jika balita melakukan pelanggaran, kemudian orang tua tidak menghukum dengan memukul tetapi tidak mengijinkan si anak main gadget selama 6 bulan, apakah ini termasuk hukuman atau disiplin? Banyak yang menjawab disiplin, kan tidak memukul, dan membuat anak tidak tergantung gadget 6 bulan. Saya saat itu menjawab hukuman, namanya balita mana ngerti waktu enam bulan, tujuannya sudah kabur nanti. Ternyata jawabannya memang itu adalah hukuman. Jangka waktu yang terlalu lama tidak membuat anak menangkap esensi dari disiplin malah membuat anak merasa dihukum. Jika mau, berikan batasan waktu yang jelas.

Saya pernah membaca suatu artikel yang cukup membuat saya berpikir dan berpikir dan bertobat :D
Di artikel tersebut dikatakan bahwa dalam Alkitab, landasan hubungan kita dengan Tuhan adalah kasih karunia atau grace. Tuhan akan mengkoreksi kita, dan Tuhan bukanlah allah yang suka melihat kesalahan masa lampau. Oleh sebab itu, sangatlah tidak masuk akal jika hubungan kita dengan Tuhan berlandaskan kasih karunia dan hubungan kita dengan anak berdasarkan penghakiman.

Saat saya membacanya, saya berpikir bahwa tugas saya sebagai orang tua bukan untuk menghukumnya. Tugas saya adalah memberikan konsekuensi logis dan instruksi yang dapat menolong mereka mengerti bahwa apa yang mereka lakukan tidak menyukakan Tuhan dan juga orang tuanya. Selanjutnya mengajar mereka untuk mengerti apa yang Tuhan ingin mereka lakukan.

Indah sih pemahaman tersebut. Tetapi pelaksanaannya, jauh dari mudah. Dan namanya anak-anak, pasti akan mengulang lagi kekonyolan yang sama, yang bisa membuat kita meledak. Namanya juga manusia, bukan berarti kita tidak bisa marah, bukan? Dan bukan berarti karena kita tidak melakukan disiplin berdasarkan emosi maka kita tidak akan merasa marah. Nah, walau tujuan pendisiplinannya benar, tetapi saat kita menyampaikan ke anak dengan suara yang sudah naik dua oktaf, maka hal ini dapat membuat si anak bingung. Akibatnya yang ditangkap anak adalah emosinya.

Artikel tersebut juga menyarankan agar salah satu pihak menenangkan diri dengan cara masuk ke dalam kamar, atau si anak disuruh berpindah ke salah satu spot, untuk berpikir atau menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah tenang, baru orang tua mendisiplin si anak atau menjelaskan kenapa mereka didisiplin. Saya rasa masuk akal juga.

Jika ini terjadi pada saya, seringkali saya ajak anak ke kamar untuk berbicara, otomatis sambil berjalan saya mengambil waktu untuk menenangkan hati sambil berdoa supaya saya bisa menyampaikan segala sesuatunya dengan tenang. Terkadang saya juga mengatakan bahwa saya sungguh sedih atau marah atas apa yang diperbuatnya dan pastilah Tuhan lebih sedih karena Tuhan ingin kita untuk melakukan yang menyenangkan hatiNya. Dan saya akan mencoba menjelaskan apa yang dapat dia lakukan untuk tidak mengulanginya. Dan setelah itu saya akan bertanya lagi kepada dia kenapa saya mendisiplin dia. Tujuannya jelas, supaya dia mengerti kenapa saya mendisiplin dia. Namanya anak-anak, terkadang saat diajak ngomong suka mikirin yang lain. Kalau dia belum ngerti, kadang saya jelaskan lagi. Percayalah, terkadang saat saya menjelaskan ulang kepada anak-anak, saya pun menahan diri saya untuk tidak menaikkan suara.

Sebagai penutup, Amsal 22:15 mengatakan "kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya". Bagi saya, kata tongkat didikan berarti disiplin itu sendiri. Jadi memang tujuan pendisiplinan adalah untuk mendidik. Kalau mendidik, berarti kita mengharapkan hasilnya bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga di masa yang akan datang. Dengan demikian, disiplin berarti memberikan konsekuensi logis yang mendorong anak untuk membuat pilihan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pertanyaan yang akan timbul bagi kita orang tua adalah apakah kita juga dapat untuk mengendalikan diri kita sehingga dalam proses pendisiplinan anak-anak kita bukannya emosi dan hukuman yang keluar dari tindakan kita, melainkan kasih? Kalau sendiri, pasti tidak bisa. Tapi bersama Tuhan, kita pasti bisa.


Selasa, 26 Juli 2016

Cooking Time: Fish Bite

Fish Bite
Duo Lynns suka sekali yang namanya makan ikan. Kalau makan sama ikan, ups pakai ikan goreng, makannya bisa cepat sekali, apalagi kalau sayurnya pare. Rasanya bahagia sekali melihat anak-anak makan. Nah, dalam rangka mengurangi jumlah craft di rumah, tempat penyimpanan sudah penuh, Minggu lalu kami membuat salah satu makanan kesukaan kami. Kenapa memasak pun dijadikan aktivitas? Supaya mereka terbiasa dengan yang namanya dapur. Dan makanan yang dimasak di rumah pastinya lebih sehat daripada jajan di luar (plus lebih irit). Apalagi kalau anak-anak ikut serta dalam proses pembuatan makanan, pasti mereka jadi tambah semangat untuk makan.

Fish bite ini sangat mudah dibuat. Tentu saja bagian goreng menggoreng dilakukan oleh orang dewasa, bukan anak-anak. 
Bahan-bahan yang diperlukan:
1. Ikan (bentuk fillet), biasanya saya pakai ikan dori. 
2. Telor
3. Tepung roti. Karena tepung roti sudah sedikit, jadi dicampur sedikit tepung beras supaya renyah.  Jika ingin lebih sehat, bisa juga dengan menggunakan oatmeal yang dihaluskan. Letakkan di wadah Lock n Lock atau plastik transparan atau ziplock yang besar. 
5. Minyak untuk menggoreng
6. Garam secukupnya.

Ikan dan tepung roti yang dicampur tepung beras
Langkah-langkahnya:
1. Potong fillet ikan sesuai dengan yang diinginkan. Idealnya sih potong dadu. Tapi kemarin saya memotongnya sedikit lebih besar.
2. Lumuri ikan dengan garam. Jika suka, boleh ditambah lada sedikit ataupun Italian seasoning (buat orang-orang yang senang ikannya ada wangi-wangi sedikit). Biarkan selama kurang lebih 15 menit. Lebih juga boleh.
3. Kocok telur di wadah terpisah, kemudian tuang ke atas ikan dan aduk pelan-pelan dengan tangan.
4. Masukkan ikan satu per satu ke wadah yang berisi tepung, jangan terlalu penuh.
5. Tutup wadah tersebut. Kemudian kocok wadah tersebut sampai seluruh ikan terbalut tepung. Ini adalah proses penepungan pertama
6. Keluarkan ikan yang sudah terbalut tepung, lalu baluri dengan telur lagi. Kemudian masukkan ke wadah berisi tepung dan tutup. Kemudian tutup wadah tersebut dan kocok lagi wadah tersebut. Ini adalah proses penepungan kedua.
7. Sesudah itu keluarkan ikan dari wadah, pindahkan ke piring atau nampan yang kering.
8. Ulangi langkah 4 sampai dengan 7 sampai semua ikan sudah terbalut tepung.
9. Goreng sampai kuning kecoklatan.

Bagian terserunya adalah saat anak-anak mengocok ikan yang sudah diletakkan dalam wadah. Biasanya kakak dan adik akan rebutan untuk mengocok, dan saat mengocok, anaknya sibuk lompat walau ikannya belum terbalut tepung. Dan karena anak-anak biasanya suka sentuh sana sentuh sini, saat melakukan aktivitas ini tangannya saya bungkus dengan sarung tangan. Jadi mamanya tidak senewen dengan tangan kecil yang terkena daging mentah ini. Hampir semua proses dilakukan oleh anak-anak, kecuali bagian menggoreng dan bagian memotong ikan.

Karena kemarin tepung roti cuma sedikit, maka sebagian diberi tepung sampai dua kali (gambar yang diatas), dan sebagian hanya ditepungi satu kali. Kalau punya seasoning lainnya, bisa juga diberikan di tepung roti, supaya lebih wangi. Saat makan, kalau ada saosnya pasti akan lebih enak. Kalau ada tartar sauce atau mayonaise atau lemon, boleh juga digunakan. Kalau tidak ada, ya bisa pakai saos sambal seperti Opa. Sedang untuk Duo Lynns, saos tomat adalah teman yang pas untuk fish bite ini :)  

Fish bite dengan satu kali proses penepungan.

Rabu, 20 Juli 2016

Fakta dan Mitos Seputar Homeschool

Sumber foto: mihomeschoolconnections.com
Beberapa bulan lalu, saya membaca berita beberapa artis mengambil kejar paket C. Katanya sih artis-artis itu homeschooler. Lalu teman-teman saya, yang tahu anak-anak di rumah homeschooling, mulai bertanya tentang homeschooling. Ternyata selama ini konsep homeschooling yang mereka tahu berbeda dengan homeschooling yang kami tahu. Yuks, kita cari tahu apa saja mitos dan fakta seputar homeschooling.

1. Mitos: Homeschooling hanya untuk artis-artis dan anak-anak yang sibuk.
Fakta: homeschooling bisa untuk siapa saja, kok. Mau anak tukang becak, anak presdir, anak ibu rumah tangga, siapapun dan apapun kerjaannya, pasti bisa kok. Homeschooling itu juga berdasarkan panggilan hati kita. Kebetulan yang diblow up itu biasanya artis A homeschool loh. Atau si B sibuk dengan latihan-latihan untuk kejuaraan international, jadi dia homeschool deh. Padahal banyak juga orang biasa yang homeschooling, dan banyak juga orang-orang ternama di masa lalu yang homeschooling. Salah satunya adalah Abraham Lincoln dan bapak K.H. Agus Salim.

2. Mitos: Biaya homeschool itu mahal.
Fakta: Nope. Tentunya kalau dibandingkan dengan sekolah negeri yang biasa-biasa dan dapat subsidi pemerintah, homeschooling bisa jadi mahal. Tetapi kalau dibandingkan dengan sekolah swasta, bisa jadi jauh lebih murah.
Soal biaya, tergantung kurikulum apa yang mau dipakai. Jika kita mengambil kurikulum yang lumayan mahal, ya jadi mahal. Tetapi kalau kita mengambil yang sesuai budget kita, ya jadinya tidak mahal. Bahkan ada situs-situs tertentu yang memberikan kurikulum secara gratis. Buat saya, enaknya homeschooling membuat saya mengalokasikan biaya pendidikan ke les-les untuk mengembangkan talenta anak-anak.

3. Mitos: Homeschooling berarti ada guru yang datang ke rumah untuk mengajar.
Fakta: Gurunya adalah orang tua si anak tersebut. Homeschooling sebetulnya lebih kepada orang tua yang mengajar anak-anak, terutama saat anak-anak masih kecil. Tujuannya untuk mengimpartasikan nilai-nilai dan karakter. Kalau memanggil guru dari luar, maka dapat dikatakan tutorial. Biasanya untuk di tingkat lanjut, jika orang tua sudah betul-betul tidak mampu untuk menguasai materinya, maka si anak dapat belajar mandiri (melihat video) atau les di tempat yang dapat dipercaya (bisa juga les dengan orang yang terpercaya).

4. Mitos: Homeschooling berarti tidak nasionalis
Fakta: Nasionalisme tidak diukur dari kita memilih menyekolahkan anak di sekolah umum atau memilih untuk mendidik sendiri anak-anak kita di rumah. Banyak yang menganggap orang-orang yang homeschool tidak nasionalis, apalagi bagi mereka yang mengambil materi dari luar jadinya ngajarnya pakai bahasa Inggris. Bagi saya, bahasa pengantar dalam mengajar disesuaikan dengan kurikulum yang diambil. Tetap di luar jam belajar dan di dalam pelajaran akan ada bahasa Indonesia (apalagi saat belajar Bahasa indonesia dan sejarah Indonesia). Memang biasanya anak yang sekolah di sekolah umum lebih hapal deskripsi setiap pulau di Indonesia, tetapi bisa jadi dia hapal hanya supaya lulus dari nilai standard. Sedang anak-anak homeschool mungkin akan belajar tetapi tidak diujiankan, tetapi untuk mengenal Indonesia itu sendiri. Sama-sama tahu, tetapi tujuannya berbeda. Dan orang yang bisa berbahasa Inggris bukan berarti tidak cinta negara, dan orang yang hanya bisa bahasa Indonesia belum tentu cinta negara dan mau membangun negara bukan.

5. Mitos: Waktu belajar harus sama sehari seperti di sekolah pada umumnya.
Fakta: Waktu belajar disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak dan keadaan keluarga. Kalau di sekolah pastilah ada patokan berapa lama anak harus belajar, kapan harus istirahat, dan kapan harus belajar kembali. Mengapa? Karena banyaknya anak yang harus dididik dengan latar belakang yang macam-macam. Jika tidak ada panduan, maka akan jadi kacau. Selain itu, karena anaknya banyak, maka waktu belajar bisa jadi lebih lama. Jika waktu belajar sudah selesai, diharapkan siswa mengerti sendiri (kalau guru kurang bertanggungjawab malah suruh muridnya les). Sedang homeschooling, karena kita gurunya dan anak-anak kita muridnya, lamanya waktu belajar bisa disesuaikan dengan kebutuhan si anak. Kapan kita belajar juga bisa diatur dengan aktifitas kita di rumah (apalagi untuk ibu-ibu yang harus mengatur rumah sendiri). Kalau bagi saya, yang terpenting adalah rutinnya. Dulu waktu kakak masih kecil, sekarang juga masih kecil sih, rutin yang dia tahu adalah dia akan segera belajar setelah makan pagi. Maka setelah makan pagi, dia akan masuk ke kamar untuk belajar. Dan kalau kami harus pergi-pergi, saya tinggal membawa materi yang akan dipelajari. Belajar kilat deh di mobil, tentunya materi yang mau diajarkan di mobil juga dipilih yang tidak berat.

6. Mitos: Homeschooling membuat anak tidak berkembang secara akademis.
Fakta: Anak-anak yang homeschooling tetap berprestasi secara akademis. Malah karena materi pelajaran dapat dipilih, anak dapat lebih memahami materi yang memang sesuai dengan talentanya. Bagi saya, jika hanya untuk mengejar akademis, anak cukup dileskan intensif selama beberapa bulan, pasti mereka bisa. Tetapi lebih dari itu, homeschooling membuat anak mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga, si anak dapat bercakap-cakap dengan orang tua dan orang tua juga dapat mengimpartasikan nilai-nilai kepada anaknya. Kemampuan secara akademis hanyalah nilai tambah dari semuanya itu.

7. Mitos: Hanya orang tua yang mempunyai latar belakang di bidang pendidikanlah atau orang tua yang sabar saja yang dapat mengajar anak-anaknya.
Fakta: Semua orang dapat mengajar karena ada panduannya. Banyak orang yang berkata: "kamu homeschooling-in anak-anak karena kamu kan guru, pasti sabar, kalau aku kan gak pinter, bukan guru, dan gak sabar." Menurut saya, semua orang pasti dapat mengajar karena ada buku panduannya. Bahkan ada yang tinggal membaca. Yang jadi masalah adalah apakah kitanya mau belajar lagi bersama anak-anak atau tidak. Justru bagi guru, mengajar anak sendiri akan lebih berat karena ekspektasinya akan tinggi. Sedangkan untuk urusan sabar, kita akan menyadari bahwa kita tidak sesabar yang kita bayangkan saat kita mengajar anak sendiri. Yang membuat kami mampu untuk bersabar adalah karena kita memandang tujuan dan alasan kami memilih homeschooling.

8. Mitos: Anak yang homeschooling tidak dapat atau kurang bersosialisasi.
Fakta: Masalah sosialisasi bukan berdasarkan anak homeschool atau tidak, melainkan kebiasaan dalam keluarga. Terkadang dunia sering tidak adil. Anak yang sekolah dan pemalu bisa disebut oh anaknya pemalu, tipe introvert. Tetapi anak-anak yang homeschooling jika pemalu pasti dikatakan dia homeschool sih, kurang bersosialisasi. Banyak yang berkata kepada saya, apa tidak takut anaknya jadi kurang dapat bersosialisasi karena jarang ketemu orang  loh. Padahal pada kenyataannya, sosialisasi bukan berdasarkan sekolah, tetapi berdasarkan keluarga dan kepribadian juga. Semakin saya mengamati, anak-anak yang homeschool mampu bersosialisasi secara vertikal, dengan orang-orang yang umurnya berbeda dengan mereka. sedang yang secara horisontal, bisa didapatkan bukan hanya dari sekolah tetapi juga dari tempat les. Untuk urusan sosialisasi, bisa juga dari komunitas homeschool loh. Jadi homeschool bukan berarti menyendiri, menjauhi masyarakat yang ada, dan mengisolasi diri. Anak-anak masih dapat bersosialisasi dengan sekitarnya melalui komunitas yang ada, tempat les, gereja, lingkungan rumah dan sebagainya. Mungkin memang jumlah orang yang dia kenal tidak akan sebanyak jika dia masuk sekolah. Tetapi saat sekolah, belum tentu kualitas pertemanan yang mereka miliki sebanding dengan kuantitasnya. Jadi, bukan kuantitas yang dicari dalam suatu pertemanan, tetapi kualitas dari pertemanan itu sendiri.

9. Mitos: Anak-anak yang homeschooling tidak disiplin dan cenderung seenaknya karena terbiasa bebas.
Fakta: Disiplin tidak berdasarkan anak tersebut homeschool atau sekolah umum. Banyak yang berkata: "Anak saya tidak bisa dibilangin, apalagi sama orang tuanya. Lebih baik dia di sekolah, supaya lebih bisa mendengarkan instruksi." Atau ada juga yang berkata: "Si upik susah untuk disuruh oleh saya, mungkin nanti kalau sudah sekolah jadi bisa dibilangin." Dengan kata lain, tugas untuk mendisiplin dipindahkan dari orang tua ke guru sekolah. Karena pemikiran seperti inilah, saat mendengar kata homeschooling, yang terlintas di pikiran banyak orang adalah anak-anak yang homeschooling tidak disiplin dan seenaknya. Memang benar dengan homeschool kita dapat lebih fleksibel mengatur materi dan waktu belajar, karena kita yang empunya sekolah itu sendiri. Tetapi masalah disiplin itu terletak pada orang tuanya, bukan pada sekolah umum atau homeschooling. Anak yang homeschool pasti ada juga yang tidak disiplin dan semaunya, tetapi saya juga sering kali menjumpai anak-anak yang sekolah umum tetapi tidak disiplin dan semaunya sendiri. Sesama rekan guru pun biasa berkata: "Bagaimana sih orang tuanya, kok anaknya tidak dididik." Nah loh, tidak jaminan bukan anak yang sekolah umum akan menjadi anak yang disiplin.
Yang saya lihat, saat anak-anak homeschool, apalagi yang didasari character building, anak-anak ini menjadi anak yang tahu namanya tanggung jawab dari mereka kecil. Jadi bagi keluarga kami, homeschool membuat kami bebas mengatur pola pembelajaran, tetapi tidak berarti semaunya. Dan juga kami melatih anak untuk mandiri, tetapi tidak melakukan pembiaran. Jika ada yang seperti itu (tidak disiplin dan semaunya), ya balik lagi ke individunya.

10. Mitos: Anak-anak homeschooling tidak dapat bekerja dalam kelompok karena terbiasa belajar sendiri.
Fakta: Walau terbiasa belajar sendiri, tetapi anak-anak homeschooling tetap belajar berkerja sama. Memang betul anak-anak belajar sendiri, tetapi pasti akan ada aktifitas yang mengharuskan mereka bekerja sama dalam kelompok, setidaknya dengan saudara mereka. Saat bergabung dalam komunitas, mereka belajar bekerja sama dalam kelompok. Akan ada namanya presentasi ataupun project yang membuat mereka belajar memaparkan sesuatu dan berbicara mengungkapkan isi pikiran mereka. Bahkan jika mereka bergabung dalam komunitas yang mempunyai jaringan internasional, si anak lebih berkesempatan bekerja sama dengan banyak orang. Jadi, siapa bilang anak-anak homeschooling tidak dapat bekerja dalam kelompok.

11. Mitos: Anak-anak yang homeschooling susah untuk mempunyai ijazah.
Fakta: Anak-anak homeschooling dapat mengambil ujian persamaan ataupun ujian di luar. Mungkin kalau zaman dahulu, urusan ijazah menjadi hal yang memusingkan bagi para homeschooler. Tetapi pada masa kini, ada yang namanya kejar paket untuk ijazah di dalam negeri. Kemudian ada yang namanya umbrella program, di mana homeschooler bekerja sama dengan suatu sekolah untuk ujian dan mendapatkan ijazah.

12. Mitos: Anak-anak homeschooling susah untuk masuk universitas unggulan
Fakta: Selama si anak mempunyai ijazah, si anak dapat mengikuti test untuk masuk universitas unggulan. Perkara masuk atau tidak, biasanya tergantung kemampuan si anak dan pemilihan jurusan. Bahkan tidak semua anak yang sekolah umum pun dapat masuk universitas unggulan. Selain itu, menurut saya, saat memilih universitas sebaiknya berdasar minat juga, bukan hanya memilih universitas unggulan atau tidak.
Saya pernah membaca kisah Andri Rizki Putra yang memilih untuk meninggalkan SMA dan belajar sendiri sebagai bentuk protesnya atas kecurangan saat ujian sekolah di sekolahnya. Walau dia harus belajar sendiri, ambil kejar paket C, akhirnya ia berhasil masuk fakultas hukum Universitas Indonesia. Bahkan dia mendirikan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa, yang menyelenggarakan pendidikan kesetaran bagi orang yang putus sekolah dan juga para homeschooler.

Bagaimana dengan universitas di luar negeri? Selama si anak mampu melalui test, punya nilai TOEFL dan atau SAT yang memenuhi syarat, dan biaya tentunya, maka anak dari Indonesia bisa kuliah keluar negeri. Sedang para homeschooler di luar negeri banyak juga loh yang masuk universitas ternama.

13. Mitos: Anak-anak homeschooling susah untuk kuliah di bidang ilmu pasti, teknik, dan kedokteran.
Fakta: Semua bidang pasti mampu ditekuni jika memang si anak mempunyai panggilan dan minat di bidang tesebut. Awalnya saya pun berpikir homeschooler biasanya mengambil jurusan sosial. Tetapi semakin saya membaca, semakin saya menemui, banyak homeschooler di luar negeri yang mengambil mata kuliah dibidang ilmu pasti, dan bahkan mereka juga melakukan homeschool kepada anak-anak mereka dan anak-anak mereka menekuni bidang yang berhubungan dengan ilmu pasti juga. Jadi, kembali kepada panggilan si anak. Yang pasti kita sebagai orang tua yang harus cermat dalam memfasilitasi si anak. Teman kami pun ada yang mengambil arsitektur. Jadi mungkin saja bukan?

14. Mitos: Anak-anak homeschooling tidak mampu berkompetisi.
Fakta: Kemampuan berkompetisi kembali kepada kepribadian masing-masing anak. Saat saya mengajar, saya pernah mengajar adik kakak. Si kakak adalah tipe anak yang tidak mau kalah, hal kecil pun dapat dijadikan kompetisi. Sedangkan adiknya kebalikan kakaknya, tipe yang cuek bebek. Nilai jelek, ya remedial. Kalau masih jelek, ya sudah. Sangat cuek. Padahal mereka bersekolah di sekolah yang sama dan dari keluarga yang sama. Ada juga keluarga homeschooling, yang kakaknya tidak boleh kalah terhadap apapun, harus jaim alias jaga image di depan umum, apapun yang dilakukan harus mendapatkan pujian. Adiknya bertolak belakang 100%, modelnya cuek, tidak perduli pandangan orang. Dua gambaran keluarga di atas, satu sekolah umum dan satu homeschooling, merupakan bukti bahwa kompetisi tidak dipengaruhi sekolahnya, tetapi kepribadian si anak. Memang betul kalau anak yang homeschool jarang berkompetisi dengan orang lain saat belajar, karena partner belajarnya biasanya kakak atau adiknya saja. Tetapi saya merasa justru ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengenalkan kompetisi yang sehat kepada anak-anak. 

Papanya Duo Lynns adalah tipe orang yang tidak suka berkompetisi, yang penting melakukan yang terbaik. Sedangkan saya, suka tidak suka, selalu dihadapkan pada ajang kompetisi, baik secara akademis maupun non akademis. Jadi saya mengamati dengan baik bahwa seringkali kompetisi di sekolah bukan kompetisi yang sehat.  Terkadang akibat kompetisi, anak yang biasa menang suka susah menerima kenyataan kalau ia kalah, dan kadang sekolah pun tidak bisa menangani hal tersebut. Kembali lagi ke cara orang tua mendidik anaknya di rumah. Kadang orang tua terlalu menuntut anak untuk jadi yang terbaik sampai si anak jadi tidak sehat dalam menghadapi persaingan yang ada. 

Di kurikulum yang kami pakai, CCC, pada pelajaran matematika akan ada bagian si anak mengerjakan soal tambah-tambahan dalam waktu maksimal 3 menit. Jadi mereka juga belajar untuk berpacu dalam melodi dengan waktu. Tetapi sebelum mereka memulainya, akan ada ayat yang berkata: "and whatsoever you do, do it heartily, as to the Lord and not unto men (Col 3:23)." Dengan kata lain, ini mengingatkan anak, dan orang tua juga, bahwa kalau kita melakukan yang terbaik, itu karena Tuhan, bukan untuk mengalahkan manusia ataupun bukan untuk kepuasan pribadi. Karena kalau mau jujur, dalam kompetisi lebih banyak karena mau mengalahkan orang lain. Jika si anak sudah mengerti hal ini, maka saat dia harus berkompetisi, dia dapat berkompetisi dengan sehat. 

15. Mitos: Anak homeschooling tidak perlu didampingi saat belajar.
Fakta: pendampingan anak saat belajar dipengaruhi oleh umur dan jenis kurikulum yang diambil. Kesalahpahaman ini biasanya muncul dari sisi homeschooler. Tentunya jenis pendampingan terhadap anak TK dan jenis pendampingan terhadap anak SMA pasti berbeda. Lalu jenis pelajaran yang akan diajarkan pasti juga memengaruhi apakah si anak harus sering didampingi atau bisa lebih sering belajar sendiri. Dan terlebih lagi jenis kurikulumnya. Ada kurikulum yang memerlukan pendampingan selama proses pembelajaran, tetapi ada juga yang lebih banyak melepas si anak. Jadi tidak dapat dipukul rata. Tetapi yang pasti, orang tua lah yang tahu kapan harus didampingi dan kapan harus dilepas. Jangan sampai anak dilepas sebelum waktunya, yang akhirnya terkadang orang tua harus mengulang kembali beberapa hal. Tetapi jangan sampai anaknya didampingi terus.  

Demikianlah beberapa mitos dan fakta yang sering ditanyakan orang-orang kepada saya. Tentu saja masih banyak lagi mitos yang mungkin beredar di masyarakat. Tetapi sebetulnya jika kita sudah melihat yang esensi dari homeschooling, maka hal-hal yang berbau katanya, mitos, pasti dapat dijawab dengan fakta-fakta yang ada. 


Senin, 18 Juli 2016

Cooking time: Brownies Kukus Keju Ala Lynns


Brownies Kukus Keju Ala Lynns
Liburan merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh semua orang. Tetapi sering kali liburan yang lama membuat orang tuanya pusing, karena si kecil mempunyai banyak energi dan bingung mau ngapain. Kan gak mungkin sepanjang liburan bawa anak-anak jalan-jalan terus:D

Salah satu aktifitas yang dilakukan Lynns saat liburan adalah membuat kue. Dimulai membuat tiramisu, lalu membuat cotton cheesecake bersama papa. Mereka dapat bagian menuang tepung ataupun gula, dan biasanya sepanjang pembuatan akan ada pertanyaan kapan jadinya. Beberapa waktu lalu, berhubung ada bumil yang kepengen makan kue yang diatasnya ada parutan keju, kami membuat brownies kukus keju. Berikut resep yang biasa digunakan oleh anak-anak. 

Bahan-bahan yang digunakan.
Bahan A
3 butir kuning telur
2 butir telur utuh
75 gram gula pasir
1 sdt emulsifier (gantikan dengan 2 kuning telur jika tidak mau menggunakan emulsifier)
1/2 sdt vanili extract
1/2 sdt garam

Bahan B
75 gram tepung terigu protein sedang
20 gram tepung maizena
25 gram susu bubuk
1/2 sdt baking powder
(ayak semua bahan)


Bahan C
50 gram keju, parut (boleh lebih kalau suka)

Bahan D
50 ml minyak sayur
25 gram butter, cairkan.


Langkah-langkahnya.
1. Olesi loyang yang akan digunakan dengan mentega dan alasi dengan kertas roti.
2. Panaskan kukusan, jangan lupa lapisi tutupnya dengan kain.
3. Aduk bahan A (kecuali garam) hingga mengembang. Kemudian tambahkan garam, lalu aduk kembali supaya benar-benar rata. 
4. Masukkan bahan B ke dalam bahan A secara bertahap dan aduk. Lakukan sampai bahan B habis.
5. Masukkan bahan C, lalu aduk kembali. 
6. Masukkan bahan D, lalu aduk hingga rata.
7. Tuangkan bahan yang sudah tercampur ke dalam loyang yang sudah dipersiapkan. Lalu masukkan ke dalam kukusan. 
8. Kukus dengan menggunakan api sedang selama kurang lebih 40-45 menit hingga matang.
9. Setelah matang (coba tusuk dengan tusuk gigi, untuk mengecek sudah matang atau belum), angkat dan dinginkan sebentar. Oleskan dengan butter cream atau mentega dan beri taburan keju yang sudah diparut diatasnya.

Kalau anak-anak biasanya suka jika diatasnya diberikan sprinkle. Berhubung buatnya cepat, acara pembuatan brownies kukus ini bisa jadi tambahan bekal anak-anak kalau lagi pergi-pergi. Hmm....Yummy...



Brownies kukus keju yang sudah dipotong.


Jumat, 08 Juli 2016

Animals Feeding in Kuntum Nursery

Bulan Juni lalu, kami dan komunitas kami melakukan field trip ke Kuntum Nursery. Sebetulnya ini adalah field trip yang mau dilakukan tahun lalu. Saat itu, anggota dalam komunitas kami hanya empat keluarga. Tetapi karena ada dua keluarga yang berhalangan, maka kami yang tersisa memutuskan mengunjungi Taman Safari. Nah, setelah ditunda satu tahun lebih, akhirnya kami jadi mengunjungi Kuntum di bulan Juni lalu.Dari delapan keluarga yang ada, hanya empat keluarga yang akhirnya bisa ikut.

Sebelum kami ke Kuntum, saya sempat menghubungi pihak Kuntum untuk menanyakan ketentuan untuk rombongan. Ternyata mereka mempunyai beberapa paket yang dapat diambil jika rombongan anak yang datang minimal 50 orang. Diantara 20 - 50 orang juga dilayani, tetapi akan ada tambahan biaya Rp 200.000,00. Sedang untuk rombongan yang anak-anaknya dibawah 20 orang, disarankan datang langsung dan membeli tiket di sana. Karena rombongan kami tidak sampai 20 anak, maka kami mengambil pilihan yang ketiga, datang dan membeli tiket langsung di tempat.
Atas: Papan nama Kuntum di depan perumahan Teras Air.
Bawah: Papan nama Kuntum di depan Kuntum.
Kuntum Nursery atau yang dikenal juga sebagai Kuntum farmfield merupakan kawasan agrowisata terpadu yang menggabungkan konsep nursery, tempat rekreasi, dan edukasi. Nursery di sini maksudnya adalah persemaian bibit-bibit tanaman, jadi Kuntum juga menjual tanaman-tanaman. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sini. Tetapi yang jadi daya tarik utama bagi anak-anak adalah memberi makan binatang. Di sini juga bisa memanen loh. Memanen di sini maksudnya melakukan pemetikan berbagai buah dan sayur organik, seperti kangkung, bayam merah/hijau, pakcoy, kailan, selada, buncis, kacang panjang, jagung, ubi, jambu biji merah, cabe, dan sebagainya. Bagi bapak-bapak yang gemar memancing, di sini juga bisa memancing. Pihak Kuntum akan menyediakan kail dan umpan, kita membayar biaya sewa kail, dan setelah memancing, hasil ikannya dapat dibawa pulang dengan membayar tentunya. Bagi anak-anak SD atau SMP pun dapat belajar menyetek dan mencangkok tanaman buah (hasil stek/cangkok boleh dibawa pulang). Menarik bukan?
Daftar kegiatan dan biayanya.
Karena saat kunjungan kami adalah hari kedua puasa, maka untuk menghindari macet, kami janjian ketemu di Kuntum paling telat pukul 09.00. Berbeda dengan pengalaman kami ke Kuntum pertama kali, yang mengalami macet karena angkot yang mengetem, tak disangka perjalanan kali ini begitu lancar, daerah di sekitar jalan Raya Tajur pun tidak ada angkot yang mengetem. Kami bahkan sampai di Kuntum sebelum Kuntum buka. Kami menunggu di mobil sebentar, dan begitu Kuntum dibuka, kami segera masuk ke dalam dan mencari toilet.
Tanaman-tanaman yang dijual.
Untuk masuk ke Kuntum, setiap pengunjung harus membeli tiket masuk. Harga tiket masuk adalah Rp 30.000,00. Dibilang mahal ya tidak mahal, tetapi dibilang murah, juga tidak semurah tempat lainnya. Tetapi berdasarkan pengalaman kami dahulu, harga tiket masuk termasuk ok. Sambil menunggu teman-teman yang lain, kami melihat-lihat ikan koi di bagian depan.
HTM Kuntum.
Di bagian depan terdapat kantin mini yang menjual cemilan-cemilan khas Bogor dan minuman ringan. Mereka menyediakan bangku dan meja untuk duduk. Di sisi lainnya Kuntum menyediakan beberapa tanaman hias dan kerajinan-kerajinan tangan yang dapat dibeli.
Tanaman hias yang dijual. Cantik ya warnanya.
Kerajinan tangan yang dijual.
Atas: bumbu-bumbu, telor bebek, dan telor ayam kampung. Bawah: Pelet ikan.
Tak lama kemudian, satu keluarga datang lagi. Kami membeli pakan ikan yang dijual seharga Rp 5.000,00. Anak-anak semangat memberi makan ikan koi yang ada di depan. Ikan koi yang berjalan-jalan berenang mengejar makanan terlihat seperti pemandangan yang indah. Tidak heran banyak orang yang suka memelihara ikan koi di rumah. Jadi pemandangan yang indah soalnya. Satu keluarga datang lagi, dan kami tinggal menunggu satu keluarga lagi. Sambil menunggu, kami melihat beberapa rombongan sekolah mulai datang. Akhirnya kami memutuskan untuk masuk terlebih dahulu sebelum semakin ramai.
Ikan koi yang berkumpul mengerubuti makanan.
Kami menunjukkan tiket kami kepada petugas yang menjaga di pintu masuk. Sambil berjalan menuju bagian dalam, kami melihat beberapa ikan yang ada di situ. Ada ikan lele, ikan patin, dan satu lagi ikan Alligator Spatula. Ikan patin dan ikan lele rasanya semua orang sudah tahu. Tetapi yang cukup menarik untuk saya adalah ikan Alligator Spatula.

Ikan alligator spatula disebut juga ikan Alligator Gar. Ikan ini disebut sebagai alligator karena bentuk fisiknya, terutama kepalanya yang mirip alligator (buaya) dengan rahang yang panjang dan memiliki dua barisan gigi yang tajam di rahang atas. Ikan ini termasuk dalam kategori ikan purba yang hidup sejak 100 juta tahun yang lalu dan tidak mengalami perubahan bentuk yang berarti sampai saat ini. Panjangnya dapat mencapai 1,8 m dengan berat tubuh 45 kg. Ikan Alligator berasal dari Amerika Serikat bagian selatan, utara dan timur Mexico. Makanannya adalah ikan yang lebih kecil, crustaceae, kura-kura, dan mamalia kecil. Dan sama seperti buaya, ikan ini bisa diam tak bergerak, dan saat mengintai mangsa dia dapat menyergap mangsa dengan kecepatan yang sangat mengejutkan. Dan dengan bantuan ekornya yang kuat, ikan ini dapat lompat hingga ketinggian 5m di atas air untuk menangkap mangsa yang bergelantungan di dahan yang rendah, lalu menariknya ke dalam air. Seperti buaya bukan?
Ikan Alligator Gar yang masih kecil.
Info tentang ikan Patin Siam
Info tentang ikan lele.
Setelah puas melihat ikan di bagian depan, kami masuk ke dalam ruangan. Di situ disediakan topi caping atau topi pak tani yang dapat dipakai selama kita berada di dalam Kuntum. Topi ini sangat menolong kita saat di sana, karena semakin siang semakin panas dan terik sinar matahari. 

Hewan pertama yang kami temui adalah kelinci dalam kandang di dekat kambing. Kelinci-kelinci ini begitu menggemaskan. Di sampingnya terdapat sekumpulan anak kambing yang dapat diberi susu. Kami membeli susu untuk anak kambing. Lucu melihat tingkah kambing-kambing ini. Mereka begitu bersemangat untuk minum susu dari dot, tapi minumnya berceceran. 
Sun bathing dulu ah....
Memberi susu ke anak kambing.
Di depan anak-anak kambing ini terdapat kambing yang cukup besar. Kambing-kambing ini dapat diberi makan juga. Cuma berdasarkan pengalaman yang lalu, anak-anak hanya memberi sedikit makanan kepada kambing-kambing ini, kemudian mama-mamanya yang dikerjain untuk memberi makan kambing. Jadi kami memutuskan untuk masuk ke dalam rumah tempat kelinci dan marmut berada. Sayangnya saat kami datang, area kelinci sedang direnovasi. Tapi jangan kuatir. Sebagian kelinci diletakkan bersama marmut. 
Ini kambing yang agak gedean dan induknya.
Penyemprotan untuk membunuh bakteri dan virus yang berada di area Kuntum. 
Salah satu kebahagiaan datang ke Kuntum pagi-pagi adalah hewan-hewan ini belum terlalu kenyang, bahkan dapat dikatakan lapar. Pengalaman kami, waktu pertama kali ke Kuntum, kelinci-kelinci ini tidak mau makan karena sudah kekenyangan. Kali ini mereka bahkan mencari kami untuk memberi makan. Guinea pig atau marmut di situ juga sibuk mengerumuni makanan yang diberikan. Setelah puas memberi makan, kami keluar. Di bagian luar juga ada hamster dan hedgehog yang berada di dalam kandang. Untuk mengetahui perbedaan kelinci, guinea pig, hamster, dan hedgehog, silakan buka link ini ya.
Marmut di pagi hari, rebutan makanan. Masih lapar ya?
Atas: hamster. Bawah: Hedgehog
Close up hedgehog oleh papa. So cute :)
Aktivitas berikutnya adalah memberi susu anak sapi. Anak-anak dengan semangat berjalan menuju kandang sapi. Yang tidak tahan adalah mama-mamanya, bau di sekitar kandang sapi sungguh luar biasa:D
Botol susunya besar ya.
Anak sapi yang sedang berjemur. 
Sapi yang lebih besar, sapi-sapi yang ini tidak boleh diberi makan atau susu oleh pengunjung.
Setelah acara memberi susu selesai, anak-anak mencuci tangan mereka. Dan sambil menanti satu keluarga lagi yang belum tiba, kami berjalan perlahan menuju area unggas. Tujuannya adalah melihat unggas dan memberi makan unggas-unggas ini.
Bebek
Kumpulan angsa-angsa, jadi ingat swan lake
Merpati ekor kipas.
Angsa yang sedang mengerami telurnya.
Salah satu ayam yang menarik perhatian adalah ayam Arab Silver. Saya pikir aslinya dari Arab, tetapi ternyata asal ayam ini adalah dari Belgia. Lalu kenapa disebut ayam Arab? Ternyata ayam ini konon datang ke Indonesia karena dibawa oleh TKI yang pulang dari Arab. Ditambah pula bulu bagian atas yang berwarna putih membuat ayam ini dari jauh seperti memakai jilbab. Maka ayam ini terkenal dengan sebutan ayam Arab Silver.
Keterangan tentang ayam Arab Silver.
Lihat bagian atasnya yang putih.
Mencari makanan dulu ah....
Yang ditengah-tengah itu tempat untuk mereka minum ya
Kami berjalan kembali mengikuti jalan yang ada. Di sebelah kiri kami merupakan area pemanenan. Karena males bentrok dengan anak-anak sekolahan, kami tidak mengikuti aktivitas memanen. Mungkin kalau anak-anak sudah SD kali ya, sekalian belajar menyetek dan mencangkok. 
Area pemanenan
Area nursery.
Tujuan berikutnya adalah naik kuda (yang sudah ditunggu-tunggu oleh anak-anak). Sayangnya kuda masih dimandikan dan dipakaikan sepatu. Alhasil, duduklah kami di pendapa sambil mengadem. Tak berapa lama kemudian, datanglah satu keluarga lagi. Dan lengkaplah tim yang ada hari ini. Setelah petugas yang ada memberi tahu kami bahwa kuda-kuda tersebut siap untuk dinaiki, anak-anak langsung berjalan menuju area menaiki kuda.
Setelah dimandikan, kudanya pakai sepatu dulu ya. 
Istal tempat kuda beristirahat.
Ini yang ditunggu-tunggu anak-anak... menunggang kuda. Sayangnya satu anggota lagi sudah mengantuk.
Formasi lengkap 4 keluarga hari ini, difoto oleh petugas di sana.
Ternyata ini pohon Ara dan buahnya
Selesai menunggang kuda, sebetulnya selesai sudah aktivitas kami di Kuntum hari ini. Tetapi anak-anak belum rela untuk pulang. Akhirnya kami kembali ke area kelinci dan marmut. Kami melewati ayam ketawa. Ayam ketawa berasal dari Sulawesi Selatan. Di tempat asalnya, ayam ini disebut manu gagap alias ayam gagap. Nah, karena suara akhir kokoknya yang terputus-putus begitu khas dan terdengar seperti orang yang sedang tertawa, maka sebagian orang menyebutnya ayam ketawa. Konon, ayam ini dianggap sebagai ayam pembawa keberuntungan dan dahulu hanya dimiliki oleh para bangsawan keraton Bugis. Jadi yang punya hanya orang-orang berstatus sosial yang tinggi.
Ayam ketawa yang tidak mau ketawa. Hiks
Tempat pengomposan, bisa jadi pupuk.
Sampai di rumah kelinci, kakak masih ingin memberi susu anak kambing. Sayangnya kali ini anak-anak kambing ini kekenyangan, mereka jual mahal dan berkumpul di ujung. Berhubung mama-mamanya gak mau rugi, kami memberi susu ke kambing-kambing yang agak besar. Nah, kambing-kambing ini kelaparan. Jadi mereka rebutan susu.
Atas: marmut. Bawah: kelinci.
Anak kambing yang agak besar mau juga kok diberi susu.
Ups...ketangkep basah lagi pipis =D
Domba-domba.
Keterangan tentang Sugar Glider.


Sugar glider yang saling bertumpukan.
Tiba-tiba adik teringat kalau kami belum memberi makan sapi yang besar. Memang pas tadi pagi kami datang, rumputnya belum tersedia. Karena sekarang sudah ada, maka kami pun membeli 1 ikat terlebih dahulu untuk anak-anak dan teman-temannya. Saat kami memberi makan sapi, ada dua orang anak yang juga sedang akan memberi makan sapi. Karena mereka sudah bosan, ibunya membeli dua ikat, maka anak tersebut memberikan rumput yang satu ikat tersebut kepada Duo Lynns. Terimakasih ya kakak. Duo Lynns segera membagikan dengan teman-temannya. Kami pun membeli satu ikat lagi. Jadi total ada 3 ikat yang diberikan untuk sapi-sapi ini. Dan sapi-sapi ini tetap semangat memakan rumput-rumput itu. Selesai memberi makan sapi, anak-anak kembali mencuci tangan mereka.
Adik memberi makan sapi. Pegang rumputnya di bagian bawah ya,supaya tidak kesusupan.
Bajing kelapa.
Makan dulu ya, pengunjung....
Pose dulu ah buat difoto.
Keterangan tentang Bajing Kelapa.
Montoknya kelinci ini =D
Selesai sudah acara kami di Kuntum. Berdasarkan pengalaman kami mengunjungi Kuntum, memang sebaiknya datanglah di pagi hari, saat rombongan sekolah belum banyak. Kalau sudah ramai dengan rombongan sekolah, memberi makan hewan-hewan ini bisa jadi lama dan terkadang hewan-hewan ini tidak mau makan lagi. Jika berkunjung saat bulan puasa, terutama di hari pertama atau kedua, sebaiknya bawa bekal sendiri. Cafe Teras Air yang berada di dekat situ tidak buka pada hari pertama dan hari kedua puasa. Sedangkan tempat makan di Bogor rata-rata bukanya siang menjelang sore.

Sementara satu keluarga masih melihat-lihat, dua keluarga yang lain harus segera pulang karena ada urusan. Kami pun tidak dapat lama-lama berada di sana. Papa juga harus bekerja lagi. Sampai juga Kuntum...
Tempat persemaian.
Berfoto sebelum pulang dan sudah kuyup.
Kuntum Nursery
Alamat: Jalan Raya Tajur no 291 Bogor.
Jam buka: Senin - Minggu, 08.00 - 18.00
Telepon: 0251- 8356752
Harga Tiket Masuk: Rp 30.000,00