Senin, 30 Mei 2016

Activity: Skippy Clown Head

Skippy Clown Head
Banyak yang berkata janji yang belum dipenuhi adalah hutang. Dan saya sependapat. Apalagi janji pada anak kecil. Mereka akan selalu mengingat, dan pasti suatu saat akan menagih janji tersebut. Oleh sebab itu, sebelum mengiyakan atau menjanjikan sesuatu, pikirkan dahulu apakah kita mampu menyanggupinya.

Dua bulan yang lalu, saat kakak lagi buat roti untuk sarapannya, terjadilah percakapan antara saya dan kakak. 
Kakak: "Mama, peanut butter sudah mau habis. Nanti tutupnya jangan dibuang ya." 
Saya: "Kenapa jangan dibuang?" 
Kakak: "Tutupnya dicuci, lalu di-paint pake creme paint, kasi mata, hidung, mulut, rambut. Jadi muka." 
Saya: "Pakai apa? 
Kakak: Pake marker dong mama, rambutnya pakai kokoru." 
Saya: "Ok." (sambil ngebatin anak ini ada aja idenya)
Kakak: "Ingat ya, mama. Mama kan sudah berjanji." 

Setiap hari, selama sebulan, akan ada anak kecil,  seperti radio rusak, bertanya tentang skippy. Kan mama sudah berjanji (dengan logat wong londo), katanya. Akhirnya setelah mengumpulkan tutup botol Skippy, bulan lalu kami merealisasikan percakapan kami sebulan sebelumnya. 

Bahan-bahan yang kami pakai:
1. Tutup botol peanut butter Skippy. 
2. Sepasang mata, bisa dari kertas, bisa dari mata-mataan.
3. Pompom untuk hidung dan mulut. 
4. Cat warna creme (putih campur coklat juga boleh). 
5. Lem yang kuat, saya pakai lem fox. Lem merk rajawali juga boleh.
6. Kertas kokoru untuk rambut.
7. Spidol warna merah dan biru (hitam atau coklat juga boleh kok).

Bahan yang diperlukan
Sebetulnya bisa saja kertas kokoru diganti dengan pompom warna-warni untuk bagian rambutnya. Tetapi karena dulu sudah pernah membuat muka badut dengan pompom untuk rambutnya, maka kakak maunya pakai kokoru. 

Untuk membuatnya, saya membagi prosesnya menjadi dua hari. Hari pertama adalah mengecat tutup botolnya dan menunggunya kering. Keesokannya, barulah kami menempel mata, hidung, mulut, dan rambutnya. 
Clown face yang masih plontos, atas: kreasi kakak, bawah: kreasi adik. 
Setelah bangun tidur siang, supaya lemnya pasti sudah kering, Duo Lynns baru menggambar bulu mata dan blush di pipi. Biar lebih manis katanya. Dan jadilah muka badut yang manis. 
I keep my words, sweetheart :) 

Kamis, 26 Mei 2016

God-Centered or Child-Centered?

God-Centered or Child-Centered
Ada orang saat melihat anak nangis-nangis sampai glesotan di lantai berkata 'gak apa-apa. Namanya juga anak-anak.' Ada juga orang yang saat melihat anak-anak lari-larian atau teriak-teriak saat ada seminar, akan berkata tidak apa, kan namanya juga anak-anak. Atau berkata namanya juga anak-anak saat melihat anak kecil merengek sampai guling-gulingan kalau menginginkan sesuatu. Kata-kata namanya juga anak-anak, itu kan wajar, seakan menjadi alasan orang tua membiarkan anak berlaku semaunya dan menghalalkan segala ulah anak-anak. Namun, apakah benar itu hal yang wajar? 

Bagi saya dan suami, kata-kata namanya juga anak-anak berlaku saat anak kecil membuat tingkah yang lucu dan 'lucu', berulang-ulang menceritakan atau menanyakan sesuatu, atau menagih janji yang sudah dikatakan. Namanya anak-anak itu jika sudah dibilangi, dikoreksi, lalu lupa lagi dan kita sebagai orang tuanya harus sampai berbusa untuk mengingatkannnya. Berteriak dan berlari juga hal yang wajar jika tidak mengganggu orang lain dan pada tempatnya. Agak berbeda dengan kebanyakan orang sih. Mungkin karena gaya keluarga kami yang seperti itu. 

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel tentang God-Centered Education dan Child-Centered Education. Ternyata hal ini juga memengaruhi pemaknaan kata-kata namanya juga anak-anak. Apa sih perbedaan dari kedua hal tersebut? 

Pendidikan yang berpusatkan pada Tuhan mempunyai pola pandang setiap anak adalah murid TUHAN. Dengan demikian, Tuhan menjadi pusat dari segalanya sehingga pola dalam mendidik adalah mendidik dalam pemikiran akan Kristus. Kebenaran spiritual dan moral diajarkan juga melalui akademik. Dengan demikian, di tahap awal kehidupan si anak, pendidikan dini itu penting. Guru berperan sebagai imparter (pengimpartasi atau penyalur) pengetahuan, berdasarkan kebutuhan si anak. Tentu saja ini tidak berarti kalau guru itu maha tahu, karena statusnya adalah penyalur. Dengan pola pendidikan ini, memorisasi, verbalisasi, dan membaca menjadi fondasi yang penting. Tujuannya adalah orang yang dididik menjadi pribadi yang dewasa di dalam Tuhan. 
God-Centered. Sumber gambar: joshkellar.com
Sedang pendidikan yang berpusat pada anak mempunyai pola pandang bahwa anak-anak harus diajarkan untuk memercayai dirinya sendiri, bukan Tuhan. Dengan pola pandang demikian, maka manusia menjadi pusat dari segalanya dan pemisahan antara pengetahuan dan Tuhan. Pengetahuan, keahlian, pikiran, dan karakter anak dibangun tanpa harus melibatkan Tuhan. Pendidikan yang berpusat pada anak juga berpikir bahwa anak harus bebas bereksplorasi, jangan terlalu banyak batasan. Oleh sebab itu pendidikan dini tidak penting. Guru berperan sebagai fasilitator, sesuai maunya si anak. Dan prinsip yang ternyata masuk kepada pendidikan yang berpusat pada anak: let children be kids, biarkan anak menjadi anak-anak atau namanya juga anak-anak.
Child-Centered. Sumber gambar: joshkellar.com
Setelah membaca artikel tersebut, saya jadi berpikir dan berpikir. Apalagi melihat banyak kasus-kasus yang terjadi di dunia pendidikan. Berarti seringkali terjadi salah kaprah dalam dunia pendidikan yang ada. Karena pusatnya adalah si anak, maka outputnya bisa mengerikan. Bullying di sekolah, labeling di sekolah, dan karena guru adalah fasilitator maka sebagian guru seenaknya tidak mengajar anak murid hanya menyuruh anak mengerjakan tugas dan mencari informasi sendiri. Bagi saya, ada beberapa topik yang dapat dikerjakan dengan membuat makalah, tetapi ada topik yang memang harus dijelaskan. Kalau dulu beberapa guru kebablasan suka mukul murid, kalau sekarang bisa tidak ada wewenang untuk mendisiplin anak murid. Sehingga murid menjadi lebih semaunya. Ini juga tidak benar.

Lalu, seperti apakah sebaiknya pendidikan yang harusnya dijalani oleh anak-anak? Karena kami homeschool, maka kami harus membentuk pola pendidikan yang sesuai. Maka saya dan suami sampai pada suatu kesimpulan.

1. Kami ingin anak-anak berpusat pada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan adalah pencipta segalanya, yang berarti pencipta ilmu yang ada. Maka logikanya setiap ilmu pengetahuan harusnya berpusat pada Tuhan. Akal budi diciptakan oleh Tuhan.

2. Karena berpusat pada Tuhan, maka iman dan karakter mendahului pengetahuan dan Tuhan  tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Saat karakter dibangun tanpa melibatkan Tuhan, maka hasilnya hanyalah manner yang hanya nampak di depan orang. Saat keahlian dibangun tanpa melibatkan Tuhan, yang timbul adalah kesombongan dan merasa saya bisa. Saat pikiran dibangun tanpa melibatkan Tuhan, hasilnya salah kaprah dan kadang bisa jadi sesat.

3. Anak boleh bereksplorasi, tetapi harus ada batasannya. Mengapa? Karena pada dasarnya anak belum dapat membedakan secara jelas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang aman dan mana yang tidak aman. Jika tidak ada batasan, maka mereka akan melakukan hal-hal yang suatu saat akan membuat orang tua sadar bahwa hal itu berbahaya, tetapi untuk mencegahnya sudah susah atau bahkan terlambat. Saya melihat banyak contoh yang waktu kecil membiarkan anak melakukan banyak hal yang seharusnya tidak boleh, hanya dengan alasan namanya juga anak-anak, biarkanlah mereka bereksplorasi dan mengenal alam. Akhirnya orang tua pun kewalahan karena tidak dapat menangani anaknya dan mulai memberi batasan (tapi sudah susah) atau jadinya melakukan pembenaran atas sikap anaknya (menganggap sekitarnya yang lebai dan tidak kompeten untuk anaknya).
Sebagai contoh anak dengan gadget dan internet. Ada orang tua yang memberi ijin anaknya main internet dengan alasan anak zaman sekarang masak tidak tahu apa-apa. Tapi tidak diberikan batasan, tidak didampingi. Saat anak membuka website aneh-aneh, nonton YouTube, kecanduan gadget, baru panik. Dan sampai titik ini sudah susah untuk mengubah kebiasaan tersebut. Atau anak diberi ijin main keluar rumah tanpa didampingi. Alasannya biar lebih mengenal alam, tidak kuper di dalam rumah terus. Begitu anaknya tertabrak sibuk menyalahkan orang yang menabrak. Padahal bisa jadi anaknya yang salah. Atau juga sebelum 17 tahun diberikan motor, dalam kompleks saja. Nah, kalau kecelakaan, penyesalan datang belakangan. 

4. Pendidikan dini itu penting tetapi sesuai kebutuhan si anak. Misal anak 2 tahun dikenalkan dengan huruf, bagian tubuh, angka, nama hewan, dan hal-hal pengetahuan dasar lainnya. Hal yang wajar bukan. Tetapi bukan berarti anak dua tahun diajari tambah kurang. Biarkan berkembang sesuai umurnya. Jika dipaksakan tetapi sisi jiwa dan spiritual anak tidak disentuh, akibatnya mungkin si anak bisa dalam hal akademis tetapi dalam hal yang sederhana seperti berbagi atau membuka baju atau berdoa si anak tidak mampu.
Tapi ini bukan berarti anak dimasukkan ke sekolah sedini mungkin. Banyak sekali orang tua yang memasukkan anak umur 6 bulan ke sekolah. Kalau menurut saya sih umur segitu waktunya bercengkrama dengan mama papanya.

5. Kami melakukan memorisasi, verbalisasi, dan membacakan anak cerita dari bayi, dalam bentuk lagu dan cerita, terutama mengenai kebenaran firman Tuhan. Karena tidak akan sia-sia mengenalkan itu semua, walau kesannya anak tidak mengerti. Lama-lama si anak akan mengerti. Kami tidak menuntut anak untuk dapat segera membaca. Kami juga tidak mau mengajarkan anak membaca, ba bi bu be bo, saat anak baru 3 tahun. Ada yang bilang sayang loh kalau anaknya pintar tidak diajari dari kecil. Kalau pintar, mau diajari kapanpun juga bisa kok. Sebetulnya kalau boleh jujur, anak diajari terlalu cepat, yang lebih bangga kan orang tuanya, walau kadang yang ngajari juga bukan orang tuanya. Benar atau benar? No offense ya.

6. Guru berperan sebagai imparter sesuai kebutuhan anak bukan kemauan anak. Semakin saya mengajar, saya semakin merasa menjadi imparter bukanlah mendominasi proses belajar mengajar. Terkadang hal ini tersamarkan karena guru jaman kita kecil suka ingin didewakan (nilai 10 untuk Tuhan, 9 untuk guru, 8 ke bawah untuk murid sehingga kalau kasi nilai ampun-ampunan). Jadinya sekarang selalu bilang guru adalah fasilitator. Fasilitator terkesan lepas tangan terhadap hasil dari pembelajaran (teman-teman saya yang adalah guru-guru sering berkata kan kita cuma fasilitator, output urusan murid-murid dong). Tetapi sebagai imparter kita bisa menyalurkan informasi yang benar sehingga anak bisa menarik kesimpulan dengan tepat. Tidak selalu mendominasi, dan ada waktunya murid dapat mengeksplorasi berdasarkan guidance atau petunjuk yang benar. Lalu anak tidak boleh memilih yang dia sukai dong? Tentu saja bisa, tetapi kita sebagai orang tua yang mengamati juga minat dan bakatnya. Sehingga bisa mengarahkan anak sesuai minat dan bakatnya juga. 

7. Let children be kids bukan berarti pembiaran terhadap segala tingkah laku anak. Anak-anak adalah anak-anak, yang masih belum dapat membedakan apakah sesuatu aman atau tidak aman, boleh atau tidak boleh. Di kamus mereka hanya ada kata bisa atau tidak bisa. Tugas kitalah sebagai orang tua yang harus memgarahkan mereka supaya mereka menjadi anak-anak yang mengerti hal yang tepat dan akhirnya membentuk mereka menjadi pribadi yang dewasa di dalam Tuhan, berkarakter dan berpengetahuan. 

Wah..... Semakin memikirkannya jadi semakin sadar parenting bukan hal yang mudah, tetapi suatu hak istimewa jika kita berkesempatan untuk menjadi orang tua.

Bacaan lain yang dapat menjadi referensi:







Selasa, 24 Mei 2016

Berkenalan Dengan Jawa Tengah

Tanggal 21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini, karena R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879. Saya ingat waktu kecil, setiap hari Kartini saya diwajibkan memakai pakaian adat. Dan...karena kakak yang diatas saya laki-laki, maka saya selalu memakai baju adat dia yang berarti baju pria. Sementara teman-teman saya didandani biar ayu, saya sih malah dibuat ganteng dengan kumis (apalagi rambut saya cepak waktu TK). Saat SMP memakai baju adat rasanya males banget, kudu make up dan sewa. Jadi saya selalu mengakali supaya tidak usah disanggul dan didandani. Saat SMA saya ditunjuk untuk mewakili sekolah ke pemda. Saya dan teman saya didaulat untuk menggunakan baju adat Minahasa. Pertama kalinya saya disanggul dan dimake up saat memakai baju adat. Perasaannya ribet juga ya.

Nah, sekarang karena anak-anak homeschool otomatis mereka tidak akan merasakan pengalaman saya menggunakan bermacam-macam baju adat, dikerjain pakai baju adat. Tapi dalam hati kecil mau juga sih melihat anak-anak ini menggunakan baju adat tapi tidak usah didandani, pasti lucu. Akhirnya komunitas homeschool kami mengadakan acara Kartini Day, dimana anak-anak menggunakan pakaian adat dan sedikit mempresentasikan daerah yang mereka wakili. 

Maka berburulah mama-mama homeschool mencari tempat penyewaan baju adat. Tentunya seru juga. Terbayang kerepotan mama-mama yang anaknya sekolah dan setiap tahun harus cari baju adat, baju negara, dan baju lainnya. Belum lagi biaya sewa dan make up. Akhirnya saya menyewa lewat teman yang bekerja dipenyewaan kostum. Didapatkanlah baju adat Jawa Tengah yang manis dan mudah untuk dipakai. 

Selesai urusan baju, kami mencoba mencari hal-hal yang berhubungan dengan Jawa Tengah. Karena kesibukan yang ada, sehari sebelum homeschool meeting, kami baru mencari gambar-gambarnya. Si papa yang bertugas mencari gambar-gambar tersebut dan Duo Lynns yang menempel. Apa saja yang kami dapatkan mengenai Jawa Tengah?

Yang pertama adalah baju adatnya. Baju adatnya adalah kebaya. Kebaya berasal dari bahasa arab abaya yang berarti pakaian, namun terkadang disebut mbayak atau kabyak orang Jawa. Awalnya kebaya hanya digunakan oleh keluarga kerajaan Jawa. Tetapi lama kelamaan menjadi lebih merakyat dan dipakai oleh banyak orang. Dan terkenallah istilah kebaya peranakan atau kebaya encim yang modelnya sederhana tetapi menarik. Biasanya saat menggunakan kebaya, bagian bawah dari kebaya adalah batik. 
Inilah contoh kebaya dengan modelnya:D
Hal kedua yang kami dapatkan adalah batik. Batik berasal dari dua bahasa Jawa amba yang berarti tulisan dan titik yang berarti titik (simbol, tanda titik). Sehingga batik dapat dikatakan menulis titik-titik pada selembar kain. Yang memang jaman dulu kan buat batik pake canting, pelan-pelan. Kalau sekarang batik sudah menggunakan cetakan. Batik sudah ada dari jaman kerajaan Majapahit, sehingga motif pada batik tidak lepas dari akulturasi budaya Hindu dan Budha. 

Kalau masih awam seperti saya, pasti tidak dapat membedakan batik-batik yang ada. Setiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri khas batik yang berbeda-beda. Seperti batik Solo yang awalnya hanya untuk kaum priyayi, dan sekarang terkenal dengan batik mangkunegaran, dengan motif seperti buketan pakis, parang sonder, seruni, dan lain-lain. Kemudian batik Pekalongan yang batiknya lebih banyak pengaruh India, Belanda, dan Cina. Batik Tegal pun sering digunakan untuk membuat tutup altar atau meja sembahyangan dengan dominasi motif yang menggambarkan simbol-simbol budaya Cina seperti naga murka, delapan dewa, burung hong atau burung phoenix. Batik Lasem didominasi oleh warna merah terang, sebagai perpaduan antara pengaruh Cina, seperti burung Phoenix, kupu-kupu, dan burung merak gaya Mataram. Batik dari Demak didominasi dengan warna cokelat mirip sogan dan warna indigo yang kuat dan putih krem. Sedangkan batik dari Kudus mempunyai wana latar batik yang lebih kekuning-kuningan. Secara keseluruhan memang batik banyak mendapatkan pengaruh Cina karena pada awalnya pembuat batik terkenal adalah keturunan yang mencintai Indonesia. Semakin saya menggali informasi, semakin saya terkagum-kagum dengan motif-motif batik yang ada di Indonesia. Tidak heran negara tetangga mau mengakuinya sebagai milik negara mereka.
Batik Solo, yang kiri adalah motif kerajaan, yang kanan adalah mangkunegaran.
Sumber: nlyliyani.wordpress.com, smp-prosit.com


Atas: Batik Tegal, Tengah: Batik Pekalongan, Bawah: Batik Lasem
Atas: Batik Demak, Bawah: Batik Kudus.
Sumber: jejakbatik.blogspot.com, fitinline.com

Hal berikut yang kami dapatkan adalah alat musik Jawa yaitu gamelan. Gamelan, berasal dari kata gamel yang artinya pukul, merupakan alat musik yang terbuat dari bahan logam kuningan dan dimainkan dengan cara dipukul. Gamelan berasal dari pulau Jawa dan Bali. Di Jawa Barat gamelan disebut degung, sementara di Bali disebut gamelan Bali. Satu perangkat gamelan terdiri dari instrumen saron, demung, gong, kenong, slentem, bonang, gender, dan kendang. dan beberapa instrumen lainnya. Berbicara gamelan tidak terlepas dari kebudayaan Hindu-Budha. 

Musik Gamelan pun merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan gaya militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini. Untuk daerah Sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta umumnya gamelan terdiri dari 2 pangkon (jenis) yakni Slendro dan Pelog yang mempunyai titi nada yang berbeda. Slendro pada dasarnya adalah nada mendekati minor (seperti pentatonis). Sedangkan Pelog menghasilkan nada yang cenderung mendekati nada diatonis.
Gamelan Jawa, sumber: indonesiakaya.com
Gamelan dan bagian-bagiannya.
Sumber yudhipri.wordpress.com
Selanjutnya adalah rumah adat Jawa Tengah. Rumah adat Jawa Tengah adalah joglo. Rumah adat Jawa Tengah mengutamakan 4 pilar atau soko sebagai penopang rumah. Rumah joglo sendiri terkenal dengan ciri khasnya yang memiliki pendopo yang luas dibagian depan. Rumah Joglo pun banyak macamnya, biasanya dapat dilihat dari bentuk atapnya juga. Keunikan rumah Joglo bisa terlihat dari ornamen dan ukiran yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Ukiran tersebut sebagian besar melambangkan pendidikan rohani, karena masyarakat zaman dahulu masih banyak terpengaruh oleh agama Hindu dan Budha. Dan tata letak pintu juga ada aturannya ternyata. Secara keseluruhan memang kebudayaan di Jawa Tengah sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha karena kerajaan-kerajaan Hindu Budha lebih dahulu terbentuk sebelum kerajaan Islam. 
sumber: rumahjoglo.net
Pas hari H, lucu rasanya melihat anak-anak berpakaian adat. Saat tiba waktunya presentasi, kakak dan adik maju bersama. Setelah mengucapkan salam sugeng siang, Gusti Yesus juru wilujeng, mereka menyanyikan lagu Gusti Yesus apik dengan gayanya (adik ngotot mau nari balet pake kebaya). Setelah itu, papa maju dan menjelaskan hasil yang kami dapatkan. Sedangkan Duo Lynns menjadi asistennya. Setelah itu dilanjutkan dengan mewarnai dan orang tuanya bercakap-cakap.
Papa menjelaskan dengan Duo Lynns sebagai asistennya

Kalau ada yang tanya ke saya, apakah tahun depan mau pakai baju adat lagi? Rasanya cukup tahun ini. Nanti saja kalau sudah lebih besar. Tetapi memelajari kebudayaan Indonesia tetap harus, tanpa menunggu hari Kartini. Mengapa? Karena kami mengasihi Indonesia :)

Jumat, 20 Mei 2016

Memilih Kurikulum Matematika untuk Homeschool

Mendengar kata matematika tentu biasa saja, tetapi kalau disuruh mengajar matematika, rasanya luar biasa. Mengapa? Menyampaikan suatu materi dalam matematika bagi anak-anak bisa jadi merupakan sesuatu yang cukup kompleks bagi beberapa orang karena kita harus bisa menyampaikannya dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh anak. Oleh sebab itu, memilih kurikulum matematika yang tepat dapat membuat penyampaian materi menjadi sederhana dan menyenangkan. Dan terkadang butuh waktu yang lama untuk memilih kurikulum yang kira-kira sesuai dengan anak.

Seperti yang selalu saya katakan kepada banyak orang, suka tidak suka, matematika sangat dibutuhkan dalam banyak hal. Anak-anak perlu mengetahui matematika karena dalam kehidupan sehari-hari matematika sangat diperlukan seperti saat berbelanja, membuat anggaran, bahkan dalam hal menabung. Saat anak-anak dewasa pun matematika dibutuhkan bagi anak-anak yang menyukai ilmu sains dan teknik. Pengalaman saya saat jadi asdos waktu kuliah membuat saya menyadari bahwa bahkan di fakultas ekonomi pun matematika masih dipakai. Banyak sekali yang harus mengulang matematika dasar (dan ngulangnya bisa 4 kali loh) karena mereka tidak menguasai hal yang sederhana yang harusnya dikuasai saat SD. Kasihan kan kalau anak jadi tidak dapat memilih jurusan yang diminati hanya karena saat kecil mereka tidak mendapatkan pembekalan yang cukup. 

Saya pun menghabiskan banyak waktu untuk memilih kurikulum. Bahkan artikel ini pun baru terwujud sekarang, padahal niat membuat artikel ini sudah dari awal waktu blog ini dibuat. Dalam mencari kurikulum untuk matematika, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan.

1. Pendekatan apakah yang ingin kita gunakan, spiral dan masteri. 
Pendekatan spiral memperkenalkan topik-topik yang bervariasi tanpa mengharapkan anak untuk memahami setiap topik secara keseluruhan. Kata kunci dari pendekatan ini adalah pengulangan yang terus menerus, sehingga anak-anak mempunyai banyak kesempatan untuk memahami dan akhirnya menguasai semua konsep yang diperlukan.  Dengan pendekatan spiral suatu konsep tidak diajarkan dari awal sampai selesai dalam sebuah selang waktu, tetapi diberikan dalam beberapa selang waktu yang terpisah-pisah. Di selang waktu pertama konsep itu dikenalkan secara sederhana, misalnya dengan cara intuitif melalui benda-benda konkret atau gambar-gambar sesuai dengan kemampuan murid. Setelah selang waktu itu selesai, maka pelajaran dilanjutkan dengan topik-topik lain. Di selang waktu yang terpisah-pisah selanjutnya, konsep tadi diajarkan lagi makin lama semakin abstrak. Notasi atau simbolnya pun berubah pula, hingga akhirnya menggunakan notasi yang umum dipakai dalam matematika.
Jadi, pendekatan spiral merupakan suatu prosedur pembahasan konsep yang dimulai dengan cara sederhana, dari konkret ke abstrak, dari eksplorasi ke penguasaan, dalam jangka waktu yang cukup lama dalam selang-selang waktu yang terpisah mulai dari tahap yang paling rendah hingga yang paling tinggi (semakin lama semakin dalam). Beberapa kurikulum yang menggunakan pendekatan spiral adalah Abeka, Saxon, Horizon, dan Teaching Textbook.

Pendekatan masteri menginginkan anak-anak untuk memahami konsep sepenuhnya sebelum berpindah ke konsep lainnya. Sebagai contoh, saat anak-anak belajar mengenai penjumlahan. Dalam masteri, si anak harus belajar penjumlahan sampai penjumlahan ribuan sebelum beranjak ke pengurangan. Karena pendekatan masteri mensyaratkan pemahaman seutuhnya terhadap suatu topik, maka anak tidak akan berpindah ke materi baru dengan cepat dan untuk pengulangan pun hanya sedikit. Suatu materi pelajaran, contohnya penjumlahan dapat dipecah menjadi beberapa bab, tetapi terkadang dipisahkan dalam beberapa worktext. Beberapa kurikulum yang menggunakan pendekatan masteri adalah Alpha Omega Lifepac,  Math Mammoth Light Blue Series, Bob Jones, dan Math U See.

Ada keluarga homeschool yang berhasil dengan menggunakan pendekatan spiral dan ada juga yang berhasil dengan menggunakan pendekatan masteri. Ada juga yang mengkombinasikan keduanya. Saat memilih di antara dua pendekatan ini, sebaiknya pilihlah yang sesuai dengan anak kita.
Atas: Saxon dengan pendekatan spiral, Bawah: Math Mammoth dengan masterinya

2. Apakah soal-soal untuk latihan dari kurikulum yang akan diambil cukup banyak?
Dalam mempelajari matematika, selain aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari, soal-soal latihan sangat membantu si anak untuk memahami konsep yang diberikan. Penguasaan soal-soal latihan yang dasar pun membantu anak saat mengerjakan materi yang kompleks. Sebagai contoh, kemampuan menyelesaikan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Seringkali saya menjumpai kesalahan konyol. Si anak menguasai materi x, tetapi salah menghitung saat mengerjakan. Akibatnya salahlah semuanya.
Soal-soal latihan ini dapat berbentuk lembar kerja ataupun flashcard. Yang terpenting adalah saat memberikan soal-soal latihan, jangan terlalu memberi tekanan kepada anak. Jika rasanya dia belum mampu,boleh diulang kok.

3. Apakah kurikulum yang dipakai membutuhkan alat bantu dalam mengajar?
Alat bantu mengajar membuat pelajaran menjadi menarik. Waktu saya kecil, alat bantu mengajar relatif sedikit. Tetapi kurikulum luar menggunakan banyak sekali alat bantu, seperti counting animals, stik kayu, snap cube, geoboard, dan sebagainya. Kita dapat menggunakan benda yang tersedia di rumah, seperti menghitung dengan menggunakan blocks, dengan tutup botol, dan sebagainya. Biasanya anak-anak dengan tingkatan lebih kecil menggunakan lebih banyak alat peraga. Seiring dengan bertambahnya usia, alat-alat peraga ini mulai berkurang penggunaannya dan digantikan dengan gambar dan ilustrasi.
Alat bantu atau alat peraga
4. Apakah Bentuk fisik dari buku yang kita inginkan?
Bagi beberapa orang, penampakan fisik dari kurikulum yang akan digunakan itu penting. Apakah mau buku atau file?Ada yang mau bukunya hitam putih saja, karena gambar dan warna dapat mengganggu kemampuan anak untuk fokus. Ada yang maunya berwarna supaya anaknya semangat belajar. Lalu yang menjadi pertimbangan juga, apakah mau workbook yang consumable atau yang dapat dipakai ke adik-adiknya lagi? Biasanya yang consumable itu berwarna, sehingga tidak mudah untuk difotokopi. Atau bisa juga membeli dalam bentuk file, seperti Math Mammoth, dan kita print sendiri. Jadi bisa dicetak sesuai kebutuhan kita.
Atas: Saxon yang hitam putih, Bawah: Abeka yang berwarna

Jika kita sudah mengetahui hal-hal yang harus dipertimbangkan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan diingat kita sebagai pengajar.

1. Jangan memberi tekanan berlebih pada si anak saat menyelesaikan suatu materi. Kecenderungannya kita pasti mau suatu materi cepat selesai, saya juga kadang begitu. Tetapi saat memelajari matematika, penguasaan terhadap hal yang dasar itu perlu.

2. Saat menggunakan alat peraga, sesuaikan dengan kebutuhan anak kita. Jangan terlalu cepat menghilangkan alat peraga dalam penyampaian materi, tetapi jangan terus menerus menggunakan alat peraga. Tarik ulur istilahnya.

3. Jika kita merasa takut atau ragu saat mengajar matematika, jangan transferkan rasa takut ini kepada anak-anak. Saat kita ragu, si anak bisa jadi tambah bingung (apalagi kalau yang ngajar tipenya semakin ragu jadi semakin panik dan emosi). Buatlah anak tenang dan yakin kepada kita. Cobalah memelajari terlebih dahulu materi yang ada kalau memang si pengajar ragu. Tenangkanlah diri kita dengan menanamkan di pikiran kita bahwa kita sama-sama belajar dengan si anak, jadi kita pasti juga bisa. :D

4. Saat mengerjakan soal, dan si anak rasanya sudah mentok, coba jelaskan dan kerjakan bersama, sehingga anak tahu dimana salahnya. Jika suasana semakin panas, ambil waktu istirahat. Setelah istirahat, makan, tidur siang, cobalah bahas kembali. Biasanya jadi lebih nyambung loh.

5. Hal yang indah dari matematika adalah matematika itu progresif. Konsep yang satu didasari oleh konsep yang lain. Dengan kata lain, konsep yang satu membangun konsep yang lain, sampai menyentuh level tertinggi dan semuanya itu menggunakan konsep yang telah dipelajari sebelumnya. Persoalan datang saat kita terlalu cepat berpindah, supaya cepat selesai, dari satu konsep ke konsep lain. Oleh sebab itu, sesuaikanlah dengan gaya belajar anak. Sebagai orang tuanya, kita lebih dapat mengetahui gaya belajar si anak. Jadi saat memilih kurikulum pun, pilihlah yang visible.

6. Jika kita sudah memilih pendekatan masteri dan anak kita dapat menangkap dengan cepat, tetapi bisa lupa kalau lama tidak dipakai, maka berikan soal-soal latihan secara berkala untuk membuat dia ingat kembali. Jadi seperti mencampur antara masteri dan spiral.

7. Apapun pilihan kurikulum yang sudah dipilih, jangan gonta-ganti dan tetaplah setia dengannya. Jujur pasti di tengah menggunakan kurikulum akan ada rasa kurikulum yang kita pilih kurang di bagian x, tetapi saat kita berganti yang lain, kita akan merasa ternyata kurikulum yang lain kurang dalam bagian y. Itu adalah hal yang wajar karena tidak ada cara untuk mengajar semuanya seperti mau kita. Yang dibutuhkan adalah konsistensi. Saat kita konsisten dengan apa yang sudah dipilih, jangan gonta-ganti, maka hal yang tadi dirasa kurang pasti akan dibahas di bab lainnya.

8. Tidak ada kurikulum yang terbaik. Kurikulum yang terkenal paling bagus pun bisa jadi tidak bagus jika si anak atau pengajar tidak dapat menerimanya. Oleh sebab itu, pilihlah yang sesuai dengan gaya belajar anak (dan kerelaan mamanya untuk belajar :D).

Saya pribadi mengalami kebingungan saat memilih kurikulum. Yang ini bagus, yang itu bagus. Nah, saat masa mencari sini situ, saya mendapatkan website yang membahas setiap kurikulum dan sangat membantu. Ingatlah moms, matematika adalah sesuatu yang menyenangkan. Jadi jangan takut sebelum berkenalan lebih jauh dengannya. Math is wonderful.


Selasa, 17 Mei 2016

Mandiri atau Mengabaikan?

courtesy of family talk
Beberapa hari yang lalu, kami sekeluarga, bersama dengan opa, mengunjungi suatu mall di kawasan Jakarta Utara. Saat kami mau turun dari eskalator, ada dua anak perempuan (mungkin adik kakak) sedang bermain dibagian atas eskalator. Mereka sedang bermain dengan pegangan eskalator yang hitam, yang dapat berputar sendiri. Kami sudah melihat dari jauh, dan sambil jalan kami berkata kepada anak-anak bahwa main di situ dan tanpa pengawasan orang dewasa sangat berbahaya. Kami jalan sambil celingak-celinguk mau lihat dimana orang tuanya, kok membiarkan anak-anaknya main sendiri. Dan saat kami makin dekat eskalator, salah satu dari mereka seperti bingung dan tangannya tertarik oleh pegangan hitam tersebut. Dia terbawa eskalator ke bawah. Anak yang satunya lagi berusaha untuk menolongnya, tetapi tidak dapat menggapai dan akhirnya ikut turun. Anak yang pertama kali 'tertarik' pegangan eskalator berusaha secepat mungkin untuk berdiri tegak, mungkin karena badannya agak gemuk jadi tidak langsung terjatuh, dan berusaha untuk naik ke atas di eskalator yang berjalan turun. 

Saya akhirnya berkata kepada anak tersebut turun dulu sampai bawah, baru ke atas naik eskalator yang ke atas, dan jangan bermain di eskalator karena itu berbahaya. Anak itu naik lagi dengan eskalator. Saya sampai gemas dengan orang tua anak ini, yang dapat membiarkan anak kecil bermain sendiri di eskalator, sampai rasanya ingin nemuin orang tuanya dan memberi tahu mereka bahaya yang hampir dialami anak-anak mereka. 

Sambil melihat mereka, saya mulai berpikir banyak orang tua merasa anak mereka bisa dan sudah mandiri sehingga mereka membiarkan anak mereka melakukan apa saja, tanpa supervisi, dengan alasan mereka bisa kok. Tetapi permasalahannya bisa bukanlah jawaban saat anak masih kecil, tetapi boleh dan amankah hal tersebut. Mereka terkadang tidak tahu bahwa disaat mereka menganggap anak mereka mandiri, anak-anak tersebut sedang dalam keadaan yang cukup bahaya (atau membahayakan orang lain) dan ditolong oleh orang lain. Lebih parahnya lagi terkadang mereka berkata bahwa Tuhan pasti menjaga anak-anak mereka, dan memang Tuhan mengirimkan orang lain untuk menolong anak-anak tersebut namun bukan berarti mereka tidak perlu melakukan supervisi terhadap anak-anak mereka. Atau ada juga orang tua yang dapat berkata bahwa memang berarti jalannya anak itu, nasibnya anak itu, jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada anak mereka. Jika meniadakan supervisi dengan alasan melatih anak mandiri atau anak  sudah dianggap mandiri, maka bagi saya ini dikategorikan sebagai ignorance atau mengabaikan. Apa sih bedanya melatih mandiri dan ignorance?

Menurut kamus bahasa Indonesia, mandiri adalah dalam keadaan dapat berdiri sendiri, tidak tergantung orang lain. Anak yang mandiri adalah anak yang dapat melakukan sesuatu sesuai umurnya. Misal anak umur 3 tahun dapat memakai pakaian sendiri, anak empat tahun dapat merapikan ranjang mereka sendiri, dan sebagainya. 


Seringkali orang tua salah kaprah dan menganggap anaknya sudah mandiri dan sudah dapat memilih mana yang berbahaya dan tidak berbahaya. Tetapi orang tua lupa bahwa anak-anak belum dapat berpikir sebab akibat yang terlalu jauh dan terkadang belum dapat mengontrol kekuatannya. Akibatnya banyak insiden yang terjadi karena anak tidak menganggap hal yang mereka lakukan berbahaya, padahal dalam kenyataannya hal tersebut berbahaya. 


Saat orang tua menganggap anaknya mandiri dan tidak melakukan supervisi terhadap si anak, maka tujuan melatih mandiri ini berpindah posisi menjadi mengabaikan anak. Faktor keamanan dalam melatih kemandirian anak merupakan hal yang penting. Jika faktor keamanan diabaikan, yang terjadi adalah insiden yang tidak diinginkan atau anaknya akan menjadi anak yang semaunya. Akibat sikap ignorance si orang tua, si anak yang merasa 'saya mampu walau saya masih kecil' dapat tumbuh menjadi anak yang terlalu bangga dengan dirinya dan bahkan bisa jadi menjadi anak yang arogan. 


Setiap orang tua pasti ingin anaknya menjadi mandiri, percaya diri. Tetapi yang harus diingat adalah melatih mandiri bukan berarti mengabaikan atau ignorance. Melatih mandiri harus disertai dengan yang namanya safety atau keamanan. Sudahkah kita menyertakan hal tersebut saat melatih anak kita untuk mandiri? :)


Senin, 16 Mei 2016

Finger Print Apple Tree

Berurusan dengan cat merupakan sesuatu yang membuat pusing kepala. Di satu sisi anak-anaknya senang, tapi di sisi lain, mamanya kudu extra pengawasan dan bersih-bersih setelahnya. Waktu si kakak masih umur 3 tahun, dua minggu sekali akan ada jadwal bermain dengan cat, entah menggunakan jari mereka, atau kuas, atau media seperti spons, kapas, dan sebagainya. Ceritanya mumpung masih senggang, toh belum betul-betul belajar. 

Salah satu aktivitas yang pernah kami buat adalah finger print apple tree yang diadaptasi dari DLTK. Apa saja yang dibutuhkan untuk membuat fingerprint ini? Yang dibutuhkan hanyalah:
1. Kertas putih, biasanya saya menggunakan kertas gambar, jadi agak tebal
2. Cat warna merah dan warna hijau
3. Spidol warna coklat

Langkah-langkah aslinya adalah sebagai berikut.
1. Cap sisi tangan ke dalam cat coklat dan cap kembali sisi tangan tersebut ke atas kertas sebagai batang pohon. 
2. Cap jari telunjuk ke dalam cat hijau dan cap kembali ke atas kertas sebagai daun. 
3. Cap jari kelingking  ke dalam cat merah dan cap kembali ke atas kertas sebagai buah apel. 

Tetapi, karena mamanya malas berurusan dengan cat coklat, butuh alas yang besar untuk sisi tangan, maka untuk bagian pohonnya saya ganti dengan spidol coklat, jadi mix antara cat dan spidol (ternyata Mr.Maker juga suka begitu). Maka urutan langkahnya berubah menjadi sebagai berikut. 

1. Cap jari telunjuk ke dalam cat hijau dan cap kembali ke atas kertas sebagai daun. 
2. Cap jari kelingking ke dalam cat merah dan cap kembali ke atas kertas sebagai buah apel. 
3. Diamkan hingga kering
4. Setelah kering, gunakan spidol warna coklat untuk menggambar pohonnya. 

Berikut adalah hasilnya. Punya Lynn A diimajinasikan olehnya seperti pohon yang terkena angin dan daunnya copot, makanya banyak daun di kiri kanan pohon (okelah, yang penting jadi n bisa menceritakan sebuah kisah dari gambar tersebut). Sedang punya Lynn B penuh dengan cat hijau yang bertumpuk-tumpuk. Tapi masih seperti pohon kok. 

Setelah itu saya melaminatingnya, dan menjadikannya hiasan kulkas. Manis juga ternyata:)

Apple tree by Lynn A
Apple Tree by Lynn B

Sabtu, 14 Mei 2016

Maria yang Me-Martha-kan Orang Lain

courtesy of sermon4kids.com
Pernah dengar kisah tentang Maria dan Martha? Pasti dari zaman masih ikut sekolah minggu sudah sering sekali mendengar kisah ini. Dan pasti kakak di sekolah minggu selalu bilang jadilah seperti Maria, yang duduk manis untuk mendengarkan firman Tuhan, jangan seperti Martha yang terlalu sibuk mengurus ini-itu dan melewatkan bagian yang terbaik. Saya dan beberapa orang yang terlibat dalam pelayanan mahasiswa pernah membahas bahwa sekiranya Martha mengerjakan ini-itu tanpa mengeluh, mungkin ia juga tidak akan melewatkan bagian yang terbaik.

Tetapi saat ini yang saya lihat banyak sekali pemikiran orang tua yang berusaha menjadi Maria dengan cara me-Martha-kan orang lain. Maksudnya apa sih? Banyak orang yang mau menikmati 'me time' dan menuntut orang lain menjadi Martha. Mereka menuntut orang untuk mengurus hal ini dan hal itu, agar mereka menikmati waktu mereka. Tetapi mereka lupa bahwa orang-orang yang mereka jadikan 'Martha' juga ingin berkesempatan menikmati waktu menjadi 'Maria'. 

Dan parahnya, sikap ini dibawa juga ke dalam pelayanan anak. Beberapa orang tua ingin menikmati waktu ibadah mereka. Malah kalau perlu disetiap kegiatan, mereka kepengen juga ada 'daycare' supaya mereka bisa mengikuti kegiatan tersebut. Oleh sebab itu mereka menuntut pelayan anak untuk mengurus segala hal tentang anaknya, dan menuntut pelayan anak harus mampu membuat anak mereka betah di kelas mereka. Bahkan ada beberapa orang tua yang berpikir jika anak saya tidak suka di kelas tersebut, pasti karena kakaknya kurang kompeten dan tidak dapat meng-handle anak-anak mereka. Lalu orang tua tersebut mencoba ikut mengatur supaya pelayanan anak tersebut sesuai dengan maunya mereka, dan orang tua-orang tua ini berkelompoklah dengan orang tua lain yang sejenis yang juga merasa seperti itu.

Padahal anak-anak adalah tanggung jawab orang tua. Orang tua, yang selalu berkata saya tahu anak saya seperti apa, terkadang tidak tahu lupa dengan yang namanya waktu untuk beradaptasi, sehingga saat anak tidak mau masuk kelas mereka berpikir pasti ada kakak yang membuat anak mereka trauma. Terkadang mereka juga lupa bisa jadi sikap anak mereka di kelas bisa jadi tidak sepolos yang mereka pikirkan, atau malah anak mereka provokator penggagas setiap hal 'unik' di kelas. Terkadang mereka lupa bahwa anak-anak yang ada di kelas itu mempunyai berbagai macam latar belakang yang di luar kendali kakak-kakaknya, sehingga jika anak mereka meniru anak-anak yang lain (atau bahkan 'disentuh' atau 'tersentuh' oleh anak-anak tersebut secara tiba-tiba), bukan berarti itu salah kakak-kakaknya. Terkadang mereka lupa jika anak mereka 'berkeliaran' sana-sini, pasti karena anak-anak ini sudah terbiasa dibiarkan 'berkeliaran' oleh orang tua mereka. Dan...terkadang mereka lupa bahwa kakak-kakak juga mau duduk diam seperti Maria.  

Sambil menulis, saya berpikir saya tidak mau menjadi orang tua yang membuat orang lain menjadi Martha. Saya juga mau bisa menikmati ibadah ataupun kegiatan yang ada, tetapi saya tidak mau membuat susah orang lain. Saya mau anak-anak saya mandiri tapi tidak semaunya. What should I do then? Yang terlintas adalah kalimat berikut:
Train up your child in the way he should go, and when he is old he will not depart from it (Prov 22:6)
Dengan kata lain, adalah tanggung jawab saya dan suami untuk mendidik anak-anak kami supaya gak 'neko-neko'. Tanggung jawab kami sebagai orang tua untuk mengajarkan anak-anak menjadi teratur dan sopan. Tanggung jawab kami sebagai orang tua (only by His grace) untuk mengenalkan Tuhan kepada anak-anak sehingga anak-anak menjadi pribadi yang mengasihi Tuhan dan sesama. Tanggung jawab saya juga sebagai orang tua untuk memahami bahwa orang lain ingin juga menjadi Maria, duduk manis juga. 

Bagaimana dengan pelayan anak? Pelayan anak pun harus mau untuk membekali diri mereka dengan pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai anak-anak. Kakak-kakak harus mau untuk mengenal setiap anak di kelas mereka, baik yang lucu atau tidak, karena pelayanan mereka bukan hanya karena mereka mengasihi anak-anak tetapi karena mereka mengasihi Tuhan. Kakak-kakak ini juga harus menyadari bahwa mereka bukan petugas daycare, tetapi mereka mendapatkan privilege, hak istimewa, untuk mengenalkan Tuhan kepada setiap anak yang ada di kelas. Walau rasanya tiap hari Minggu terkesan sama, namun sebetulnya setiap hari Minggu merupakan hari istimewa bagi anak-anak yang mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan. 

Walah, tidak mudah ya menjadi orang tua. Memang tidak, menjadi orang tua merupakan proses pembelajaran seumur hidup. Dan tidak mudah juga menjadi pelayan anak. Perlu proses belajar juga, dan mengikuti perkembangan yang ada, karena pelayan anak berhubungan dengan anak-anak yang dinamis. 

Semoga artikel singkat ini membuat saya dan juga orang tua lain tidak menjadi Maria yang me-Martha-kan orang lain.


PS: pencerahan ini didapatkan sejak sebelum kami terlibat menjadi pelayan anak, bukan karena kami menjadi pelayan anak.

Kamis, 12 Mei 2016

Apa sih CCC (Christ Centered Curriculum)?


Banyak yang bertanya kepada saya, kalau mau homeschooling saat TK baiknya pakai kurikulum apa ya. Saya selalu jawab tergantung budget dan preference masing-masing keluarga. Tetapi saya memilih Christ Center Curriculum atau CCC. Saya sudah jatuh cinta dengan CCC saat saya masih kuliah, saat melihat teman yang menggunakan bahan tersebut. Sehingga saat ditawari untuk membeli bahan CCC oleh teman yang saat itu baru mau homeschooling, ada yang mau bawain dari Singapore, maka saya pun mengiyakannya. Dengan pertimbangan, andaikan anak-anak tidak homeschooling, bahan tersebut dapat dipakai sebagai tambahan bahan yang mempunya pola pandang biblikal. 

Apakah CCC itu? 
CCC merupakan kurikulum dari Amerika, yang lebih mengedepankan pembelajaran materi berdasarkan Alkitab. Jadi semua pembahasan dilandasi dengan firman Tuhan. CCC awalnya dikenal sebagai program untuk early childhood dan digunakan pada tahun 1970-an di Rocky Bayou Christian School (RBCS).

Pada akhir tahun 1980-an Doreen Claggett, sebagai pendiri CCC, tergerak dengan kerinduan untuk membantu keluarga homeschool memberikan pendidikan kepada anak-anaknya di dalam kebenaran Tuhan, secara spiritual, moral, dan akademis.  
Hal-hal mendasar yang saya sukai dari CCC adalah:
1. Never too Early (tidak pernah terlalu cepat) untuk mengestafetkan iman kepada anak-anak. Bagaimana caranya? Ya melalui hidup orang tuanya. Anak-anak adalah pembaca ulung bahkan sebelum mereka dapat membaca. Nah, tentu saja mereka membaca kehidupan orang tuanya, karena setiap kita adalah suratan berjalan. Itulah sebabnya parenting merupakan hal yang berharga tetapi juga hak istimewa yang sangat serius.
2.Pendidikan kristen seharusnya merupakan proses pekerjaan Tuhan melalui guru-guru yang berkomitmen untuk menggunakan metode biblikal dan materi kurikulum yang benar untuk membawa setiap murid yang mempunyai biblical world view dan memiliki karakter ilahi dan kemampuan akademis yang cukup untuk memenuhi panggilan Tuhan dan hidup untuk kemuliaanNya. 
3. Bukan pengetahuan yang harus dikuasai dahulu, tetapi urutannya adalah iman, kebajikan, pengetahuan. Untuk anak-anak sajakah? Tentu tidak, pertama untuk mamanya, lalu untuk anak. Sehingga saat mengajar anak-anak, bukan saja anak-anak yang diperlengkapi, tetapi mamanya juga diingatkan dan dikuatkan kembali. Indah bukan?
Iman, kebajikan, pengetahuan
Umur berapa sajakah yang dapat menggunakan CCC? 
Di bahan yang diberikan ditulis dapat digunakan dari umur 3 tahun. Tetapi bukan berarti saat 3 tahun anaknya suruh belajar yang berat. Saya menggunakan kisah karakter dari CCC saat anak-anak 3 tahun. Saat kakak berumur 4 tahun, dan adik yang sebentar lagi 4 tahun, saya baru mulai menggunakan semua materi CCC yang ada sesuai dengan umurnya ditambah kreativitas yang saya cari sendiri.

Kalau menggunakan CCC-nya tidak dari awal, andaikan anak saya mulai homeschool saat dia umur 5 tahun, bisa atau tidak ya? 
Bisa saja. Enaknya pakai CCC, worksheet disesuaikan dengan umur si anak. Phonics 1 misalnya. Bagi anak yang umur 4 tahun, worksheet yang dikerjakan dimulai dari worksheet A1. Sedangkan bagi anak yang mulai di usia 5 tahun, dengan pelajaran yang sama, si anak mengerjakan worksheet B1. Materi sama, tetapi waktu tatap muka untuk menyelesaikan materi bagi si anak umur 5 tahun lebih pendek daripada si anak umur 4 tahun.

Terdiri dari apakah CCC itu? 
Buku-buku CCC terdiri dari Math dan Phonics, tetapi di dalam Math dimasukkan pelajaran mengenai karakter.

Character
Mau tidak mau, kita harus mengakui keadaan sekarang makin edan. Banyak kejadian mengerikan terjadi di lingkungan pendidikan, dan dilakukan oleh orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan. Dan saat ini anak-anak seakan dididik tetapi bukan dididik untuk mengenal Tuhan. Oleh sebab itu, tantangan yang akan dihadapi oleh anak-anak baik sekarang maupun di masa yang akan datang adalah sesuatu yang nyata. Mereka memerlukan biblical world view, karakter ilahi, dan pengetahuan untuk memenuhi panggilan Tuhan dalam hidup mereka. 
CCC memasukkan pelajaran karakter dalam pelajaran Math. Ada 10 cerita karakter (yang diadaptasi dari cerita Character Sketches karya Bill Gothard) dalam pelajaran Math dan juga tips untuk orang yang membantu orang tua mendorong anak-anak untuk mengaplikasikannya.  Jadi mendarat untuk anak-anak. Jika dijelaskan secara panjang, wah rasanya tidak cukup. Tetapi mungkin dapat saya ringkas sebagai berikut. Dalam menggunakan CCC, dan dengan anugerahNya, keluarga homeschool haruslah menunjukkan orderliness dengan melakukan segala sesuatu dengan sopan dan teratur. Akan sangat baik jika anak-anak belajar dalam suatu keadaan yang teratur (in order) yang dipenuhi dengan sukacita (joyfulness). Kemudian anak-anak belajar untuk taat, dan menunjukkan loyalty dengan mengikuti setiap instruksi seperti yang disampaikan oleh orang-orang yang mempunyai otoritas atasnya. Tujuannya adalah jika mereka tidak dapat taat kepada orang yang dapat dilihat, bagaimana mereka dapat taat kepada Tuhan yang tidak dapat mereka lihat secara langsung. Dan masih banyak karakter-karakter lain yang dipelajari oleh saya sebagai orang tuanya (dengan tips untuk orang tua) dan anak-anak, seperti generosity (berbagi dan berkorban), flexibility (mampu membedakan dan beradaptasi), courage (berani), decisiveness (Melakukan sesuai dengan caranya Tuhan), responsibility (setia terhadap perkara kecil), endurance (dapat bertahan), dan determination (menuju pada tujuan).

Cerita Karakter yang ada
Dan jujur saya merasa bahwa homeschooling lebih seperti pelatihan untuk orang tua daripada pelatihan untuk anak-anak. Sebagai orang tua, kita akan mempelajari dan anak-anak akan mempelajari melalui aktivitas kita sehari-hari.

Math
Math dalam CCC berbeda dengan pelajaran matematika biasa. Dalam CCC, setiap hal dilandasi dengan dasar firman yang kuat. Sehingga anak-anak mengerti bahwa firman Tuhan juga merupakan dasar dari ilmu pengetahuan (itu yang saya tangkap ya). Math dalam CCC dibagi dalam 2 bagian, yaitu Math Workbook A (konsep mengenai angka dan penjumlahan pengurangan sederhana) dan Math Workbook B (penjumlahan-pengurangan sampai 20, place value (nilai angka satuan, puluhan, ratusan), uang, waktu, dan pecahan sederhana). Yang saya suka adalah dengan CCC saya bisa mengajarkan matematika dalam bentuk cerita. Misal tentang angka 2. Anak-anak belajar bahwa di rumah Mrs.Deer (angka 2) ada 2 kamar untuk anaknya 2 + 0, dan 1 + 1. Jadi belajar matematika pun menjadi menyenangkan, apalagi ada Flashcard yang colorful.

Anak-anak dari Mrs. Two Deer

Dimulai dengan hand-on-activity lalu diikuti dengan mengerjakan soal dari workbook. Sehingga bagi anak-anak kecil, materi tidak terlalu berbau akademis tetapi lebih berorientasikan kepada aktivitas. Kemudian untuk mengajarkan suatu konsep, lebih sering menggunakan snap cube (base ten blocks), value stickvalue pocket chartnumber line, dan number line neighboorhood. Jadi bervariasi dan anak tidak terpacu untuk menghitung dengan jarinya. Belum lagi sistem pengulangan tentang suatu konsep (yang disajikan dalam cara bermacam-macam). Materi yang diberikan juga mencakup materi grade 1. 
Atas: addition family house, Bawah: Number line neighboorhood
Atas: Number Chart, Bawah: Place Value Mat
Phonics 
Phonics merupakan sesuatu yang baru bagi saya. Selama ini saya belajar bahasa Inggris langsung ke katanya. Misal satu itu one, dua two, apel apple, dan sebagainya. Ternyata saat mendapatkan buku Phonics CCC saya terkaget-kaget. Sama seperti kucing bunyinya meong, anjing bunyinya guk-guk, huruf dalam bahasa Inggris pun punya bunyinya. Satu huruf bisa punya satu, dua, atau tiga bunyi (tidak kalah kan dengan nyanyi ada empat suara). 
Dengan CCC, pengenalan phonics dikolaborasikan dengan Firman Tuhan, cerita Alkitab, dan pengembangan karakter Kristen. CCC Phonics dapat mulai digunakan saat anak berumur 4 tahun. Bagi kita sebagai orang tua, disediakan juga lesson guide. Oya, ada Phonics Lesson Flashcard dan A to Z wall card juga loh. Wall card ini, yang saya lihat saat kuliah, yang membuat saya jatuh cinta pada CCC. Yang ini membantu kita sebagai orang tua saat mengajarkan phonics. 
Phonics Wall Card

Ada tiga level dalam CCC Phonics dan penggunaannya dapat disesuaikan dengan umur anak yang menggunakannya. Level A biasa digunakan oleh anak berusia 4 tahun dan lima tahun awal. Biasanya jika si anak pertama kali menggunakan CCC saat ia berusia 5 tahun (dan belum punya dasar phonics apapun), ia dapat menggunakan level B1 tanpa menggunakan level A sama sekali. Sedangkan jika si anak telah menyelesaikan level A, anak tersebut dapat langsung menggunakan level B2. Bagi anak yang telah menyelesaikan level B2 dapat  lanjut menggunakan level C. Materi pada level C ini setara materi untuk kelas 1 SD. Secara keseluruhan, dalam CCC Phonics anak-anak akan belajar aturan pengucapan dalam bahasa Inggris, grammar sederhana, pengembangan vocabulary, kemampuan mengenai kamus, dan latihan menulis. Cukup seru, karena bukan hanya anak yang belajar, tetapi juga kita mamanya yang belajar.
Bahan Phonics CCC, workbook A1 untuk anak 4th, workbook B1 untuk anak 5th
Apakah materi CCC ada juga untuk SD?
Seperti dijelaskan di atas, CCC merupakan pendidikan untuk early childhood. Yang berarti materi CCC hanya untuk anak TK dan kelas 1 SD. Jadi untuk SD nanti, kita berburu kurikulum lagi. Hehehe

Kalau di Indonesia, bagaimanakah mendapatkan CCC?
Menurut teman-teman homeschooling yang membeli bahan CCC di Indonesia, mereka membeli dari Vickery Christian Academy. VCA merupakan lembaga resmi yang ditunjuk oleh CCC untuk menggandakan bahan-bahan CCC di Indonesia dan kadang mereka mengadakan pelatihan bagi keluarga-keluarga yang menggunakan CCC. Keterangan lebih lanjut dapat dibuka di sini.

Kalau saya tidak jago bahasa Inggris, apakah saya dapat menggunakan CCC? 
Menurut saya: bisa banget, asal kita mau belajar juga. Anggap saja kita sama-sama baru belajar dengan anak-anak. Hanya saja kita belajar sehari lebih awal dari mereka. Seringkali kan salah kaprahnya adalah kita merasa bahasa Inggris kita pas-pasan, sehingga kita menyampaikan dengan bahasa Indonesia. Dengan pertimbangan nanti mereka bisa sendiri, yang penting nilai moralnya didapatkan. Tetapi yang saya amati proses pembelajaran menjadi lebih sulit bagi pengajar dan anak. Dan jangan meng-underestimate anak-anak loh. Mereka ternyata lebih cepat memahami bahasa Inggris dibanding kita (bahkan kadang si kakak yang membetulkan pronounciation saya). 
Sedikit pengalaman dari saya, saat anak-anak berumur 3 tahun, saya menceritakan kisah-kisah karakter dalam bahasa Inggris yang sederhana. Tetapi saat mereka berumur 4 tahun, saya membacakan sesuai dengan apa yang ditulis di situ. Karena mereka sudah pernah mendengar kisah tersebut sebelumnya, mereka jadi mengerti saat saya sampaikan kisah dalam bahasa yang lebih resmi.
Ada beberapa yang membuat proses belajar menjadi lebih susah (menurut Doreen Clagget pendiri CCC), antara lain:
1. ketidakkonsistenan selama proses mengajar, 
2. pelajaran tidak diajarkan seperti seharusnya, 
3. menganggap suatu bagian tidak penting sehingga mencoba memilih sendiri bagian yang lain, yang akibatnya malah membuat kita melewatkan bagian yang penting,
4. memilih level yang terlalu tinggi, atau bahkan terlalu rendah, dari yang seharusnya,
5. si pengajar sedang mengalami tekanan dalam keluarga, yang mungkin dirasa oleh anak, 
6.mungkin memang si anak memerlukan waktu lebih untuk memahaminya (kalau kata dosen saya dulu nanti ada waktunya kamu mengerti materi ini, sekarang pakai saja dulu rumusnya, dan ternyata betul di semester berikutnya saya jadi lebih mengerti)

Kalau ditanya susah atau tidak saat menggunakan CCC pasti jawabannya relatif. Tetapi satu hal yang harus diingat sebelum mengajar, berdoalah agar anak-anak diberikan kemampuan untuk memahami setiap hal yang disampaikan dan koreksilah hal yang harus dikoreksi. Jangan berpikir kan masih kecil, nanti juga mengerti sendiri. Hal-hal yang dasar tetap harus diperjelas dari awal. Dan kita sebagai pengajar, jadilah pengajar yang meng-encourage anak-anak dengan mengestafetkan perasaan sukacita kita saat proses pembelajaran. Memang praktek lebih susah daripada ngomong, saya pun terkadang mau gigit Duo Lynns kalau lagi berulah saat belajar, tetapi tetap harus semangat. Saya berusaha memandang kepada goal yang ingin saya capai saat saya dan suami memilih homeschool dan CCC: iman dan karakter yang melandasi pengetahuan. Sehingga saat rintangan menghadang, saya dikuatkan kembali untuk melalui setiap rintangan (bahasanya kok jadi puitis begini ya)

Rabu, 11 Mei 2016

8 Hal Yang Harus Dilakukan Saat Memulai Homeschooling


Menjadi newcomer dalam dunia homeschool memang terkadang membuat sakit kepala. Rasanya bingung mau mulai dari mana, lalu mau ngapain aja, dan 1001 macam kebingungan lainnya.  Jangan kuatir moms.... Saya dulu juga begitu kok. 

Pertama kali mulai homeschool, ada 1001 macam pertanyaan dan ketakutan yang menghampiri saya. Bagaimana kalau saya tidak dapat memberikan yang terbaik untuk si kakak? Apalagi saat itu ada si adik yang baru 16 bulan. Nah, saat waswas menyerang, saya hanya nyender sepenuhnya pada Tuhan. Saya hanya mencoba melakukan yang saya mampu dan dengan kekuatan dari Tuhan. Tetapi justru saat kita mengandalkan Tuhan, semua dapat berjalan dengan sukacita.  

Nah, apa saja sih yang dapat dilakukan oleh orang tua yang mau mulai homeschooling dengan anaknya yang masih kecil? Berikut ini adalah hal-hal yang dapat saya rekomendasikan bagi orang tua yang baru memulai homeschool dengan di kecil. 
1. Membaca
Ini adalah hal yang paling gampang untuk dilakukan. Pilihlah buku yang sederhana, dan bacakanlah cerita tersebut. Gemar membaca adalah kunci nomor satu bagi homeschooler. Kalau di luar negeri, enaknya bisa ke perpustakaan umum dan meminjam. Saya belum punya pengalaman meminjam buku dari perpustakaan umum di sini, tetapi sekarang beberapa perpustakaan lumayan lengkap buku-bukunya loh. 

2. Bermain bersama
Salah satu kebahagiaan seorang anak kecil adalah bermain. Si kakak paling senang jika papanya libur, yang berarti dia bisa main dengan si papa lebih lama. Oleh sebab itu, luangkanlah waktu untuk bermain bersama anak. Tentunya mainan yang mendidik dan bukan kekerasan. Bisa saja membuat 'kota' dari lego atau blocks, atau bermain peran seperti dokter-dokteran, builder, koki, kasir, dan sebagainya. Sebisa mungkin hindarilah gadget saat bermain bersama.

3. Membuat prakarya
Bagi sebagian orang, mendengar kata prakarya atau craft bisa menjadi sesuatu yang membuat pusing. Tetapi bagi anak-anak, membuat prakarya merupakan aktivitas yang menarik. Satu hal yang saya dapatkan selama mengajak anak membuat prakarya adalah craft tidak boleh membuat kita stres. Prakarya bersama anak adalah hal yang seharusnya fun dan sederhana. Yang mereka nikmati adalah melihat ada sesuatu yang nampak sebagai hasil karya mereka. Jadi, searchinglah dan pilihlah aktivitas yang cocok untuk umur mereka (dan adik mereka). 

4. Tanamkan value yang kita inginkan
Salah satu tujuan homeschooling adalah supaya kita dapat menanamkan nilai yang tepat bagi anak-anak kita. Oleh sebab itu, sampaikan nilai atau karakter yang kita inginkan. Terkadang saat kita menyampaikan cerita tentang karakter,anak-anak akan bertanya yang agak lucu. Jawablah setiap pertanyaan yang lucu-lucu tersebut walau sudah berulang kali ditanyakan oleh mereka. Nikmatilah masa-masa tersebut.

5. Melakukan aktivitas dalam rumah dan nikmatilah
Salah satu keuntungan terbesar dari homeschool adalah dapat menyatukan sekolah dan rumah. Aktivitas sehari-hari di rumah dapat menjadi pembelajaran sederhana yang menarik. Dari saat Duo Lynns kecil, salah satu kegiatan favoritnya adalah memasukkan baju ke dalam mesin cuci. Mereka dapat menyebutkan tahapan dalam menyalakan mesin cuci. Saat saya membersihkan rumah, mereka pun akan mengambil peralatan lain untuk membersihkan rumah. 
Apakah saya memang khusus mengajar anak-anak melakukannya? Tidak, tetapi dari bacaan yang dibacanya dan karena mereka melihat saya mengerjakannya, mereka merasa tertarik melakukannya. Hal seperti ini belum tentu didapatkan jika anak-anak bersekolah, yang pergi pagi dan pulang siang dan mendapatkan rumah sudah rapi. Oleh sebab  itu nikmatilah masa-masa awal homeschooling dengan segala aktivitas di rumah. 

6. Jalan-jalan
Siapa sih yang gak mumet kalau 24 jam sehari, 7 hari seminggu di rumah terus sama anak-anak (menghadapi tingkah mereka kalau lagi 'manis' dan moody)? Apalagi kalau tidak ada orang yang membantu urusan rumah tangga plus ngurusin hal-hal di rumah. Teman saya pernah bilang: "Gue sih gak mau homeschool, stres ketemu anak mulu. Kalau sekolah kan setidaknya ada 2 jam gue gak usah direpotin anak dan bisa pergi semau gue." Ya, ada benarnya juga sih. Sumpek juga di dalam rumah terus menerus. Lalu apa solusinya?
Kita bisa jalan bersama anak-anak. Pergilah ke taman (kalau ada taman dekat rumah), atau ke mall, ke musium (ehm...cari yang kids friendly ya), ke pantai, dan tempat lainnya. Kan belajar tidak hanya di rumah. Jadi kita juga cuci mata, anak-anak juga happy :)

7. Pilihlah kurikulum yang ok
Tentu saja memilih kurikulum bisa membuat sakit kepala. Oleh sebab itu, pilihlah kurikulum yang paling sesuai dengan keadaan keluarga kita. Kita juga bisa membuat kurikulum sendiri. Ingatlah bahwa kurikulum adalah alat kita untuk mengajar. Jadi jangan sampai kita menjadi stres dengan kurikulum. Tetapi bukan berarti setelah kita memilih suatu kurikulum, kita bisa semaunya (dalam artian tidak mengerjakan sesuai instruksi yang ada, cuplik sana sini). Penggunaan kurikulum yang semaunya malah akan membuat anak bingung dan hasilnya tidak maksimal.

8. Carilah komunitas
Sendirian tentunya tidak enak, temans.Oleh sebab itu, komunitas adalah hal yang penting dalam homeschooling. Carilah komunitas homeschool yang sesuai dengan kita. Sering-seringlah ngobrol dengan keluarga yang sudah menjalankan homeschooling dan anak-anaknya sudah besar. Keluarga homeschool tidak pelit ilmu kok, mereka akan membagi ilmu mereka. Dan adanya komunitas membuat kita merasa punya teman senasib seperjuangan :)

Salah satu hal yang dapat saya sampaikan adalah:
Nikmatilah tahun-tahun awal ini. Gunakanlah waktu-waktu yang ada untuk mengetahui mereka lebih lagi, mengetahui passion mereka, apa yang mereka suka, dan jangan lupa pertanyaannya juga. Dan saat bangun besok pagi, lakukan hal yang sama juga. Dan setiap orang tua mampu melakukan homeschooling karena mereka mengenal anak mereka lebih dari yang lain. Practice makes perfect. Waktu-waktu yang dihabiskan bersama anak-anak membuat kita mengenal anak lebih jauh dan ke depannya kita akan mengetahui cara yang dapat kita gunakan untuk menyampaikan materi pelajaran yang sesuai dengan si anak.

Jia you!!!