Sabtu, 24 Juli 2021

Homeschool Blues?


Homeschool blues? Siapanya baby blues sih itu? Untuk mama-mama yang punya bayi, pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya baby blues. Baby blues merupakan kondisi suasana hati yang dialami oleh ibu-ibu yang baru saja melahirkan. Nah, homeschool blues agak mirip-mirip. Bedanya homeschool blues tidak berhubungan dengan bayi.

Saat kita menikah dan mempunyai anak, menjadi orang tua merupakan suatu privilege. Tetapi berbicara tentang parenting, dapat mendidik anak kita sendiri merupakan berkat dan panggilan khusus bagi kita. Tidak semua orang mempunyai panggilan untuk melakukan homeschool. Challenging? So pasti, karena seperti minimarket yang buka 24/7, kita juga bertemu anak 24/7.Tentu mengajar anak yang berpadu dengan ulah anak pun akan menjadi tantangan tersendiri. Apalagi untuk mamak-mamak yang tidak ada helper 

Homeschool blues merupakan masa-masa dimana kita merasa galau dan terkadang rasanya tidak waras lagi. Penyebab galau itu bisa banyak hal. Kadang sebagai mama kita merasa kurang menjadi mama yang baik. Atau bisa juga kita tidak merasa mumpuni untuk mendidik anak-anak kita. Kita merasa kurang kreatif. Akibatnya kita memiliki guilty feeling atau perasaan bersalah kepada anak-anak. 

Saat homeschool tidak berjalan seperti yang kita inginkan pun dapat  menyebabkan kita merasa tidak waras. Keadaan rumah yang tidak kondusif, saat anak-anak gelut ataupun adu mulut juga dapat membuat kita merasa tidak waras. Lagi perang dingin dengan kepala sekolah di rumah (baca: pak suami) juga bisa membuat kita tidak waras. Intinya ada banyak hal yang dapat membuat kita galau dan tidak waras dalam menjalankan homeschool.

Lalu bagaimana untuk mengatasinya? Kan tidak mungkin kita galau terus. Bagaimana kita dapat mengajar dengan baik jika kita terus menerus galau? Bagaimana kita dapat mendidik dengan baik jika kita sendiri tidak waras?

Apakah saya pernah merasa tidak waras dan merasa blue? Tentu saja pernah, namanya juga masih manusia. Adanya anggota baru, pandemi yang datang tanpa diundang dan malah bermutasi ini membuat kami harus melakukan berbagai perubahan dalam rumah. Apalagi kami dipercayakan untuk menjaga orang tua kami (yang berarti tanggungjawab yang lebih berat daripada mengurus anak). Belum lagi pengetatan budget disana sini membuat saya merasa tidak menjadi mama yang cukup baik untuk anak-anak.

Tetapi saya tidak membiarkan rasa galau itu menguasai saya. Seperti baby blues yang harus dibenahi, maka homeschool blues pun harus dibenahi. Ada beberapa hal yang saya lakukan untuk membuat saya tidak galau dan menjaga kewarasan saya dalam mendidik anak-anak. 

Sumber foto: pinterest

1. Tetap terkoneksi dengan Tuhan.

Untuk yang satu ini, sudah pasti no other option. Meluangkan waktu untuk memberi makan jiwa dan roh kita merupakan hal yang penting. Hanya Dia sumber kekuatan dan sukacita kita. Kalau Tuhan yang memberikan panggilan untuk mendidik anak-anak, maka Tuhan juga yang akan memperlengkapi. 

Sumber foto: europeanceo.

2. Berbagi dengan suami.

Selain sebagai kepala keluarga dan kepala sekolah, suami adalah support system dan advisor pertama kita. Oleh sebab itu, sama seperti baby blues, suami menjadi support system pertama, maka saat mengalami homeschool blues, berbagilah dengan suami. Ini mengapa pentingnya kata sepakat antara suami dan istri saat memulai homeschool. Walaupun suami sibuk, namun karena pendidikan adalah komitmen bersama, maka pasti suami mau menjadi tempat berbagi keluh kesah kita.

Saat corona belum berkunjung

3. Milikilah support system, yaitu komunitas yang sevisi.

Homeschool, yang orang tuanya terlibat mengajar dan mendidik sendiri, merupakan perjalanan yang panjang dan berproses di orang tua terlebih dahulu. Jadi yang pasti capek ya orang tuanya dulu. Makanya banyak yang merasa paling merana, paling susah dalam mengajar anak-anak. Inilah gunanya komunitas yang sevisi. Komunitas membuat kita bisa curhat dan mendapatkan support dalam menjalani homeschool ini. Dalam komunitas yang sevisi ini, kita tetap akan berjalan bersama dalam visi yang sama, untuk menggenapi panggilan yang Tuhan berikan. 

Monthly planner untuk semester ini

4. Buatlah perencanaan yang realistis dan belajar fleksibel.

Buat saya, perencanaan itu penting. Sejak zaman sekolah dulu, saya paling suka membuat jadwal harian, list yang harus dikerjakan, monthly planner, dan weekly planner. Mengapa? Saya butuh sesuatu yang feasible dan dapat diukur. Banyaknya kegiatan di sekolah (saya paling suka ekskul), kegiatan gereja, jadwal mengajar les, membuat saya merasakan manfaat adanya perencanaan-perencanaan. Saya dapat mengukur seberapa banyak yang dapat saya kerjakan, apa yang nyatanya tidak realistis, dan apa yang harus saya kerjakan. Walau terkadang ada yang tidak dapat dikerjakan, setidaknya saya dapat mengetahui apa yang harus dilakukan. Disinilah karakter fleksibel dilatih, agar kita dapat beradaptasi dengan keadaan yang ada. Untuk mengetahui cara membuat academic year planning, silakan klik link ini ya.

5. Ciptakan atmosfer yang nyaman.

Atmosfer yang nyaman bagi setiap orang berbeda. Ada yang nyaman kalau mencium bau aroma terapi. Ada yang nyaman kalau memulai hari dengan minum susu. Kalau saya, kesukaan saya dari zaman baheula adalah mendengarkan musik saat bangun tidur. Kebiasaan ini terbawa hingga sekarang. Dengan adanya musik sepanjang hari, membuat suasana hati sedikit lebih tenang. Dan berhubung sehari-hari ada anak-anak yang ikut mendengarkan, maka musik yang didengarkan tentunya yang dapat membangun semangat.

A cup of coffee for relax time

6. Tetap melakukan sesuatu yang menjadi kesukaan kita.

Memilih menjadi ibu memang berarti bersedia untuk memberikan waktu, harapan, tenaga kita untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan tugas seorang ibu. Tetapi ada waktunya juga kita melakukan sesuatu yang menjadi kesukaan kita. Bukan berarti kita egois, tapi bijak dalam menggunakan waktu. Sebagian orang bilangnya sih ‘me time’, yang buat saya dari awal terkesan egois (dan ternyata ada senior kami yang sependapat dengan opini saya ini) dan menuntut (teringat salah seorang teman yang sering menitipkan anak ke keluarga dan berkata dia butuh me time, tanpa memikirkan perkembangan anaknya). 

Saya lebih suka menyebutnya relax time, waktu dimana saya dapat melakukan hal yang sukai. Biasanya saat si bayi tidur dan si kakak sedang ada les. Saya sering menggunakannya untuk membaca, menulis, atau duduk manis minum kopi atau teh sambil mengerjakan urusan pekerjaan (ya ,saya nyambi bantuin si papa kerja) atau sambil periksa worksheet anak-anak (yang penting bisa ngopi atau ngeteh). Di waktu-waktu inilah saya merasa lebih relax.

For me, homeschool is a long journey. It shapes us as a family. Oleh sebab itu, butuh hal-hal yang saya suka sebut 5K. 5K itu adalah Kasih Karunia, Kekuatan, Keuangan, Komunitas, dan Kewarasan. Kasih karunia berarti kita membutuhkan anugerah Tuhan untuk menjalani ini. Kekuatan buat saya pasangan yang saling menopang saat mendidik anak-anak, mentransfer virtue lebih dari pengetahuan. Keuangan yang berarti walau anak tidak sekolah, tetapi tetap saja membutuhkan biaya dalam perjalanannya. Itu sebabnya, menabung itu penting (macam program pemerintah zaman kita kecil). Komunitas sebagai support system, sehingga dalam perjalanannya, kita tidak merasa sendiri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kewarasan. Tanpa adanya kewarasan, lama-lama kita akan merasa terkuras habis tanpa diisi kembali.

Dengan adanya 5K tersebut, kita dapat mengubah blues tersebut menjadi bless =D

So, no more homeschool blues kan?

 

PS: kalau mulai feeling blue lagi, ulang langkah diatas ya (talk to myself first) =D 


Rabu, 21 Juli 2021

Bagaimana Cara Menyusun Academic Year Planning?

 


Tak terasa satu semester di tahun 2021 sudah berlalu. Kita sudah berada di bulan Juli. Kalau di sekolah mah, tahun ajaran baru namanya. Guru-guru akan sibuk rapat kerja alias raker, menyusun program, dan sebagainya. 

Nah, memasuki tahun ajaran baru, biasanya mama-mama homeschool sudah sibuk dengan yang namanya perencanaan tahun ajaran atau academic year planning. Ada yang semangat membuat perencanaan untuk tahun ajaran yang baru. Ada juga yang belum membuat, tetapi sudah bingung mau ngapain.

Hal ini sangatlah wajar (garisbawahi kata wajar ya, moms). Apalagi untuk yang pertama kali memulai homeschool. Namun sebetulnya sih tidak susah-susah amat. Apalagi bagi yang menggunakan kurikulum yang sudah membuatkan perencanaan seperti Sonlight dan Abeka. 

Lalu bagaimana yang kurikulumnya elektik seperti kami? Berarti harus dibuat sendiri? Ya, tentu saja harus dibuat sendiri. Bagaimana cara membuatnya? Berikut beberapa hal yang dulu biasa kami lakukan. 

1. Tetapkan terlebih dahulu tanggal-tanggal yang akan dibuat merah.

Bagi kami, liburan bersama keluarga merupakan hal yang penting juga. Apalagi salah satu kebahagiaan menjadi homeschooler adalah dapat liburan saat low season, yang berarti bisa liburan dengan biaya yang minim (kisah liburan penuh anugerah kami dapat dilihat di sini atau sana ya). Jadi kami selalu membuat plot hari libur keluarga, hari berkumpul bersama dengan komunitas, dan hari ulang tahun (ya, kalau ada yang ulang tahun, kami libur juga).

Perlu diperhatikan juga jumlah libur yang akan dilakukan dalam satu tahunnya. Sebagai patokan, berdasarkan hari libur nasional, dalam satu tahun akan ada 14 hari libur nasional dalam satu tahun (termasuk cuti bersama untuk libur Idul Fitri). Jika ditambah dengan libur-libur yang dibuat sendiri (libur semester 1, libur akhir tahun ajaran, dan sebagainya), kami biasa menghitung 8 minggu dalam satu tahun dianggap sebagai minggu tidak efektif.  

2. Buat perbandingan jumlah lesson dengan waktu pembelajaran.

Dengan mengetahui perbandingan jumlah lesson dalam 1 tahun ajaran dan waktu pembelajaran yang diinginkan atau direkomendasikan dalam satu minggu, kita akan mengetahui dalam berapa minggukah kita akan menyelesaikan suatu pelajaran dalam satu tahun ajaran. Dari sini kita akan tahu apakah kita dapat menyelesaikan pelajaran tersebut dalam waktu 1 tahun. Jika berdasarkan data di langkah sebelumnya, maka jumlah minggu efektif dalam 1 tahun ajaran akan ada 52 – 8 = 44 minggu. 

Sebagai contoh, pelajaran bahasa Inggris yang kami gunakan, Climbing to Good English (C2GE) mempunyai 108 lesson (termasuk ujian dan review) selama 1 tahun ajaran. Banyaknya waktu pembelajaran yang direkomendasikan oleh buku tersebut adalah 3 kali dalam seminggu. Maka jika saya bagi 108 : 3 = 36, saya mendapatkan bahwa saya membutuhkan 36 minggu untuk menyelesaikan pelajaran-pelajaran tersebut selama setahun. Jika dibandingkan dengan jumlah minggu efektif, berarti planning seperti ini aman.

Bagaimana dengan pelajaran yang tidak ada rekomendasi dari bukunya? Saya biasanya menyesuaikan dengan jumlah materi dan dengan pelajaran yang sudah ada rekomendasinya. Seperti Practice Sheet yang digunakan sebagai pelengkap C2GE. Practice Sheet ini saya buat menjadi 2 kali seminggu supaya bisa melengkapi C2GE.

Perbandingan jumlah lesson dengan waktu pembelajaran

3. Tetapkan jadwal pelajaran sesuai dengan hasil perbandingan diatas.

Setelah mendapatkan hasil diatas, saya dapat memperkirakan jumlah minggu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan semua pelajaran dalam waktu 1 tahun ajaran. Biasanya setelah itu saya akan membuat jadwal yang disesuaikan dengan jumlah minggu yang dibutuhkan. Selain itu biasanya di hari yang ada les atau kegiatan, akan dijadwalkan pelajaran yang tidak begitu ’berat’. 

Setelah itu saya akan mencoba memasukkan list materi yang ada dalam monthly planner. Di monthly planner ini saya masukkan apa saja yang harus dikerjakan oleh mereka setiap harinya selama sebulan.

Jadwal pelajaran adik, diluar mengerjakan setara daring

4. Sesuaikan ekspektasi dengan keadaan yang ada.

Setelah membuat jadwal, dan membuat list materi apa saja yang harus dikerjakan setiap harinya, biasanya saya lihat kembali monthly planner tersebut. Apakah topik yang diberikan dapat diselesaikan dalam 1 bulan? Apakah kegiatan di bulan tersebut memungkinkan anak-anak menyelesaikannya? Jika dirasa tidak mungkin, misal melihat banyaknya kegiatan ekskul anak di bulan tersebut, maka akan ada beberapa penyesuaian supaya load tidak berlebih (dan emosi tidak meningkat). 

Monthly Planner untuk satu semester. Dibuatnya per bulan

5. Sediakan spare waktu untuk mengulang materi yang dirasa kurang dikuasai anak.

Saat membuat academic year planning, saya menyediakan spare waktu untuk mengulang materi yang dirasa kurang dikuasai anak. Misal materi pelajaran A unit 1 belum dikuasai oleh si anak. Maka daripada saya maju bahan tapi anak gak ngerti, saya akan mengulangnya kembali. Karena kalau hanya ngejar target supaya materi selesai dan anak tidak mengerti, apa gunanya anak belajar kan?

Nah untuk itu, dibutuhkan spare waktu supaya tidak panik saat anak belum mengerti dan kita harus mengajar kembali namun tahun ajaran sudah habis. Seperti dalam contoh diatas, untuk menyelesaikan matematika dibutuhkan 29 minggu dalam 1 tahun ajaran. Masih ada spare 15 minggu (44 minggu efektif – 29 minggu) untuk mengulang materi ataupun memberikan pengayaan atau enrichment.

6. Sosialisasikan jadwal pelajaran kepada anak-anak.

Setelah jadwal dibuat, biasanya saya menginfokan kepada anak-anak jadwal mereka nantinya. Dengan mereka tahu diawal jadwal pelajaran tersebut, maka mereka tahu apa saja yang harus dipersiapkan dan tahu jadwal mereka. Mereka juga tahu tanggung jawab yang harus dikerjakan setiap harinya. Selain itu, andai saya lupa, anak-anak bisa mengingatkan saya juga.

7. Bersikap fleksibel dengan perubahan sewaktu-waktu.

Biasanya setelah membuat jadwal, perencanaan materi, mengetahui dalam berapa minggu materi bisa selesai, kita (saya maksudnya) langsung berharap semua itu berjalan sesuai yang ada. Tapi kan kenyataannya kadang tidak seindah yang diinginkan. Misal ada acara dadakan, atau ada yang sakit, tentu saja mempengaruhi situasi saat belajar. Jadi belajar fleksibel jika harus ada yang berubah.

Bagaimana sekarang, semenjak ada pandemi? Praktis acara jalan-jalan sudah tidak ada. Jadi mengisi kalender pendidikan di rumah kami pun menjadi lebih cepat. Lalu, apakah semua planning yang ada selalu berjalan? Jujur, ada kalanya planning tidak berjalan. Ada hari mendadak harus lebih slow karena harus belanja (sekarang kan belanja sudah kayak mau pergi ke medan perang). Ada kalanya harus off karena jadwal adik vaksin.

Jika dibandingkan dengan lesson plan, program tahunan, program semester, perencanaan ini itu saat mengajar, ini sih jaaauuuuh lebih sederhana. Mungkin untuk orang yang lulusan pendidikan akan menganggap ini tidak lengkap. Bahkan tidak ada skenario pembelajaran seperti saat saya mengajar. Tetapi bentuk seperti ini nampaknya lebih mudah dimengerti dan dijalankan oleh saya. Toh membuat ini untuk membantu saya tahu apa yang akan saya kerjakan selama tahun ajaran yang ada, bukan untuk kelengkapan administrasi untuk akreditasi sekolah =D

Contoh program semester saat dulu masih mengajar.

Pada dasarnya perencanaan itu baik dan membantu agar kita lebih terarah dan terukur. Dengan adanya perencanaan, kita akan lebih mudah mengatur pembelajaran. Namun seperti halnya dengan kurikulum, jangan sampai kita ’diperbudak’ oleh perencanaan yang ada. Kita adalah tuan atas perencanaan, jadi tetap decision maker adalah kita. Kalau ada hal yang tidak sesuai dengan jadwal, maka kita bisa mengedit jadwal sesuai kebutuhan.

Selamat menyambut tahun ajaran baru =D