Sabtu, 30 Juni 2018

Sekali Lagi, Tentang Kurikulum ....


Kurikulum merupakan topik yang tidak pernah akan habis saat dibahas. Di dunia pendidikan di negara kita pun kurikulum dapat berganti dengan cepat. Saya sering sekali mendengar orang tua yang mengeluh karena kurikulum yang di sekolah membingungkan mereka selaku orang tua.

Bagaimana dengan homeschool? Dengan homeschool kita diberikan kebebasan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kita. Namun ternyata dengan adanya kebebasan untuk memilih kurikulum ini tidak berarti tidak membingungkan homeschooler. Demikian juga dengan mama-mama yang ada di group kami. Walau anak-anaknya masih kecil, tetapi nampaknya mama-mama ini mulai berpikir jauh ke depan.

Setelah berbulan-bulan kebingungan akan kurikulum yang tepat, walaupun terkadang sudah dibahas baik japri ataupun di group whatsapp, kali ini kami kembali mengadakan playdate di Kidzooona. Tujuannya supaya mama-mamanya bisa ngobrol cantik tenang sementara anak-anaknya bisa main dengan tenang dan bahagia. Walaupun saya bukan expert, namun pastinya ada hal basic yang dapat digunakan saat membahas kurikulum.

Apa kesimpulan dari pembicaraan kami kali ini? 
1. Kurikulum diperlukan agar kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik.
Karena kami masih berada dalam topik pendidikan, tentu ada kurikulum yang akan kami pakai. Kurikulum yang tepat akan membantu si pengguna dalam mencapai tujuannya. Namun perlu diingat kurikulum bukan segala-galanya. Perpaduan yang tepat antara kurikulum dengan keunikan keluarga akan membuat kegiatan belajar mengajar berjalan lebih baik.

2. Kurikulum adalah alat dan bukan tuan.
Karena kurikulum adalah alat, maka harusnya kurikulum tersebut digunakan sebaik mungkin oleh kita, dan bukan kebalikannya. Jangan karena mengejar kurikulum, kita jadi lupa tujuan dan alasan mengapa kita memilih kurikulum. Oleh sebab itu jangan sampai kita 'diperbudak' dengan kurikulum. Lakukan sesuai dengan petunjuk tetapi lakukan juga beberapa penyesuaian sehingga kita tidak 'diperbudak' oleh kurikulum.

3. Pemilihan kurikulum disesuaikan dengan karakteristik setiap keluarga, yang berarti disesuaikan dengan si anak, gaya belajar, kemampuan si pengajar, dan budget yang ada.
Kebahagiaan kita sebagai homeschooler adalah dapat memilih kurikulum Seringkali kita melihat kurikulum yang dipakai si 'A' bagus, lalu kita mengikuti semua kurikulum yang dipakai oleh si 'A' tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Sebelum memilih, sebaiknya kita melihat keadaan keluarga kita terlebih dahulu.
Waktu saya memilih kurikulum, saya mencari data-data yang berhubungan dengan kurikulum-kurikulum yang ada, kemudian saya mempresentasikan kepada papanya anak-anak selaku pak kepala sekolah. Setelah itu baru kami memutuskan kurikulum mana yang akan kami pakai.

4. Jangan memindahkan sekolah ke rumah.
Homeschool atau home education atau home learning bukan berarti sekolah pindah ke rumah. Sekolah dibentuk dan dikerjakan oleh banyak orang yang mempunyai kemampuan berbeda-beda. Sedangkan dalam homeschool yang kita lakukan, orang tualah yang berperan banyak dalam pendidikan anaknya. Pastinya kita jadi lelah kalau kita berusaha memindahkan sekolah ke rumah karena memang itu bukan kapasitas kita.

5. Tentukan mana pelajaran yang utama dan mana pelajaran yang tambahan.
Sama seperti kita makan, tentunya kita mengajarkan anak-anak bahwa makanan yang utama harus didahulukan daripada cemilan. Memilih pelajaran pun kurang lebih seperti itu. Saat anak-anak masih kecil, saya dan papanya anak-anak berpikir bahwa anak-anak hanya perlu tahu tiga hal dasar, yaitu pengenalan akan Tuhan, melatih motorik, basic skill dan kreativitas. Oleh sebab itu sampai mereka umur empat, mereka belum kami ajarkan membaca ataupun berhitung secara langsung. Setelah anak-anak masuk usia TK, kami mulai menambahkan matematika dan bahasa, sesuai dengan kurikulumnya. Dan saat kakak masuk kelas 1, kami memutuskan untuk menambahkan science ke dalam pelajaran mereka. Padahal pelajaran kelas 1 pada umumnya pasti ada sejarah, geografi, dan pelajaran IPS lainnya. Menurut kami itu semua dapat dibaca. Namun hal mendasar seperti matematika dan science akan lebih baik diajarkan secara langsung sehingga mereka menangkap konsep. Jangan takut anak kita tidak bisa apa-apa. Semua ada waktunya. Intinya adalah jangan mengejar semua hal menjadi satu. Pilih sesuai umur. Toh kita homeschool kan?

6. Penyampaian bahasa sesuai dengan kurikulum yang disampaikan
Banyak yang bertanya apakah saat belajar harus menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Kalau menurut saya, sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Jika kita menggunakan kurikulum berbahasa Inggris, ya saat jam belajar pun harus menggunakan bahasa Inggris. Kalau kita menggunakan kurikulum lokal, ya sampaikan dalam bahasa Indonesia. Kalau dicampur, tentu akan membuat lama proses belajar dan akhirnya anaknya tidak mencapai hasil yang maksimal. Jangan takut anak tidak akan mengerti. Anak mudah menangkap bahasa selama kita konsisten. Logikanya kan jika anak bisa menonton film bahasa Inggris dan mengerti ceritanya, maka tidak akan percuma kalau kita menyampaikan kebenaran dalam bahasa Inggris. Hal ini juga berlaku untuk sebaliknya.

7. Jangan mengganti kurikulum di tengah-tengah.
Biasanya rumput tetangga lebih hijau dari rumput kita. Artinya, kurikulum yang dipakai teman akan terlihat menarik saat kita mengalami kendala dengan kurikulum kita. Saat menggunakannya, jangan langsung berganti kurikulum lainnya. Cobalah untuk tetap menggunakannya.
Selain itu, saya lebih menyarankan untuk setia kepada satu kurikulum untuk satu mata pelajaran dalam satu tingkatan. Misal, untuk Science SD kelas 1 kita menggunakan kurikulum A. Lalu kita merasa kok anak si anu sudah bisa ini padahal kelasnya sama. Maka kita langsung mengganti buku pelajaran anak kita dengan kurikulum B. Akibatnya akan ada materi yang hilang. Saya lebih menyarankan mengambil kurikulum A untuk Science SD dan menggantinya saat berpindah ke SMP. Kalau ternyata banyak yang tidak cocok bagaimana? Oleh sebab itu, pemilihan berdasarkan poin tiga diatas sangatlah penting. Kalau yang poin 3 sudah dijalankan, penggantian kurikulum di tengah-tengah akan kecil kemungkinannya.

8. Harus ada tarik ulur antara belajar mandiri dengan mengajarkan materi.
Dalam pemilihan kurikulum homeschool, banyak yang memilih kurikulum yang lebih membuat anak belajar mandiri sehingga tidak menyusahkan si pengajar. Hal ini tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Kita harus dapat memilah materi mana yang memang bisa dilepaskan untuk si anak belajar mandiri (baik secara langsung atau melalui soal-soal) dan materi mana yang harus diajarkan supaya konsep suatu materi tidak salah. Ingatlah bahwa jawaban yang benar atas suatu soal bukan berarti si anak menangkap konsep dengan benar. Yang kita inginkan adalah proses yang benar, bukan hanya hasilnya.

9. Rajin-rajinlah melakukan research atau berkunjung ke keluarga yang sudah menggunakan kurikulum yang ingin kita lihat.
Supaya kita tidak terlalu kelimpungan saat menggunakan kurikulum, dan supaya kita jangan memilih kucing dalam karung, korbankanlah waktu kita untuk searching dan melakukan research. Ada banyak contoh isi materi pelajaran yang dapat kita temukan saat bertanya pada mbah Google. Atau jika kita ingin yakin dan melihat langsung, kita dapat berkunjung ke keluarga yang memiliki kurikulum yang ingin kita lihat.

10. Penyertaan Tuhan yang menjadi kekuatan saat penggunaan kurikulum terasa berat.
Ujung-ujungnya ya memang selalu ini. Karena memang kita sebagai manusia pasti ada masanya lelah alias hayati lelah. Oleh sebab itu, ingat selalu bahwa penyertaan Tuhan dan perkenananNya saja yang memampukan kita.

Acara curhat tentang kurikulum ini diakhiri dengan main bersama. Saya sungguh bersyukur untuk mama-mama yang walau bingung tetap bersemangat untuk mendidik anak mereka sendiri. Mereka mengambil tanggung jawab ini dengan serius, walau dalam perjalanannya terkadang ada kendala. Semangat moms. Mari kita berjalan bersama :)

Untuk bahasan lain mengenai kurikulum dan homeschool, silakan klik link berikut ini.
Eksis dulu sebelum pulang...

Jumat, 15 Juni 2018

Craft: DIY Foldable Doll House


Siapa yang suka main rumah-rumahan untuk boneka? Saya juga suka. Rasanya setiap anak suka bermain rumah-rumahan. Apalagi kalau rumah-rumahannya dapat dibuat sendiri. Sudah berkali-kali anak-anak bilang mau buat rumah-rumahan untuk bonekanya. Dengan dungeon door pun boleh, kata mereka. Sayangnya mamanya belum bersedia karena bingung mau disimpan dimana rumah-rumahan itu.

Nah, bulan April kemarin, saat pertemuan per wilayah, auntie C yang sangat kreatif mengajak anak-anak untuk membuat rumah-rumahan untuk boneka. Anak-anak belum tahu bahwa auntie C akan mengajak mereka membuat rumah boneka. Jika mereka mengetahuinya dari awal, kebayang dong senangnya dan rusuhnya mereka.
Rumah Boneka karya auntie C 
Pertemuan dimulai dengan memperkenalkan tentang Earth Day. Anak-anak diajari bahwa kita dapat menjaga bumi ini dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan barang-barang secukupnya, menggunakan air dan listrik secukupnya, dan daur ulang dari barang yang ada. Karena masih dalam rangka Earth Day, anak-anak diajak untuk membuat rumah dengan menggunakan kertas-kertas bekas yang masih dapat dipakai.
Auntie C dikermunan anak-anak.
Setiap anak mendapatkan 4 kertas bekas yang dapat dilipat dan dibuat menjadi rumah yang terbagi menjadi empat bagian. Ada juga kertas warna-warni, kain perca, dan alat-alat lainnya yang dapat digunakan untuk melapisi ’dinding’ ataupun sebagai karpet. Anak-anak dibebaskan berkreasi dan berimajinasi.
4 kertas bekas yang siap diubah menjadi doll house :) 
Lipat melipat sudah dimulai
Yang membuat saya terkagum, rumah boneka yang diajarkan auntie C ini dapat dilipat dan tidak makan tempat. Jadinya lebih hemat tempat. Anak-anak pun mewarnai perabotan yang mereka ingin letakkan di dalam rumah. Sedangkan untuk anak laki-laki disediakan template untuk membuat stasiun kereta api. She is soooo creative, isn't she?
The boys with their train station.
Jadilah doll house kakak.
Memang acara membuat rumah boneka ini lumayan lama, namun anak-anak dengan senang hati menunggu yang lainnya selesai. Mereka belajar bahwa saat melakukan kegiatan bersama terkadang mereka harus rela menunggu teman mereka.
Tangga hasil imajinasi kakak.
Rumah untuk tsum-tsum, lengkap dengan tangga untuk menuju lantai 2.  
Pertemuan kami kali ini diakhiri dengan berenang bersama. Thank you auntie C untuk rumah boneka dan waktunya :)

Sabtu, 09 Juni 2018

Security: My Worry Hat


Apakah ada dari mama-mama semua yang anaknya terkadang gloomy saat bangun tidur? Saya ada, yaitu adik. Kadang-kadang adik bangun dengan cranky dan ada aja yang dia rewelin. Entah ini karena sindrom anak kedua atau entah karena salah bantal, tetapi hal ini kadang membuat pagi hari kami jadi agak panas.

Kami merasa hal ini karena terlalu banyak hal yang dia kuatirkan. Maklum, sebagian orang (bukan orang tuanya) kadang suka membandingkan dia dengan kakaknya. Jadi ada banyak hal yang membuat dia merasa kuatir dan juga tidak secure. Dan pas di bulan April kemarin, kami membahas karakter security atau aman.

Security atau aman didefinisikan sebagai dengan membangun hidup dengan hal-hal yang tidak dapat dihancurkan atau direnggut. Maksudnya adalah jika kita membangun hidup kita dengan hal-hal yang tidak tergoyahkan, niscaya kita akan merasa aman. Hal-hal yang tidak tergoyahkan ini tentunya bukan bersumber pada hal-hal yang dapat habis atau benda yang terlihat di depan mata, tetapi bersumber pada sesuatu yang bersifat kekal. Saat kita tahu Tuhan yang berdaulat atas hidup kita, maka kita akan merasa aman di dalamNya.

Untuk menyampaikan hal ini kepada anak-anak, pastilah tidak semudah yang kita bayangkan. Akan ada rasa kuatir atau cemas yang akan muncul walaupun mereka sudah tahu Tuhan mengasihi mereka dan mereka aman di dalam lindunganNya. Hal ini wajar, karena bukan hanya anak-anak, tetapi kita sebagai orang dewasa sering merasa tidak aman, baik karena masa lalu kita, ketakutan-ketakutan kita, dan juga kekuatiran-kekuatiran kita. Bahkan segala hal itu akan muncul saat kita hendak tidur. Dan akibatnya bangun pagi pun dimulai dengan rewel.

Untuk membuat anak-anak melepaskan kekuatiran mereka, kami pun mengadakan aktivitas 'worry hat' setiap malam sebelum kami tidur. Worry hat merupakan kegiatan menggunakan topi sebelum tidur dengan tujuan agar anak melepaskan segala rasa kuatir mereka, dengan harapan saat mereka bangun, mereka bangun dengan tenang dan tidak cranky. Tentunya bukan topi ini yang melepaskan ketakutan mereka, tetapi kegiatan ini menjadi simbol mereka melepaskan kekuatiran mereka sebelum mereka tidur.

Jadi biasanya setelah kami melakukan saat teduh keluarga dan doa sebelum tidur, saya membuatkan topi dari kain. Kemudian topi ini diletakkan diatas kepala anak-anak. Lalu biasanya saya mengatakan 'letakkan semua hal yang membuat kalian kuatir, kalian takut ke topi ini.' Lalu saya menghitung sampai sepuluh, sesudah itu saya kebaskan topi dari kain tersebut sambil bernyanyi
'Tuhan angkat worry-ku (cranky-ku) dan buang ke laut, byur
Buang ke laut, byur
Buang ke laut'
Dan ajaibnya, aktivitas ini cukup berhasil membuat anak-anak, terutama adik, bangun dengan senyum. Ya setidaknya, cranky-nya diundur agak siangan. Bahkan saat dia mau memulai rewel di pagi hari, saat diingatkan bahwa semua kuatir kan dibuang ke laut, adik pun tidak jadi rewel.

Adik sempat bertanya jika worry dibuang ke laut, bagaimana Nanti kalau laut penuh dengan worry kita. Hmm... Kan lautan kasih Tuhan. Kasih Tuhan mengalahkan segala kekuatiran yang ada dan mengubahnya menjadi sukacita :)