Akibat pandemi yang membuat kami tidak kemana-mana, kami pun jadi merapikan barang-barang di lemari buku. Maklum, buku yang begitu banyak (sugih buku namanya), dan terus bertambah, membuat kami mulai pusing menyimpan buku-buku. Jadi kami pun mulai merapikan kembali isi dari lemari kami. Maksud hati sih supaya tidak terlihat banyak.
Only The Paranoid Survive =)) |
Di tengah merapikan buku-buku
tersebut, saya menemukan banyak buku-buku yang dipakai saat saya dan si papa
kuliah, baik sarjana dan pasca sarjana. Saya pun bernostalgia dengan buku-buku
tersebut. Terbayang hectic-nya hidup saat
buku-buku tersebut sangat berjaya di masa kuliah pascasarjana. Di tengah saya
kuliah malam, saya masih harus membagi waktu untuk bekerja (saya sudah bekerja sejak
SMA), menjaga keponakan (literally
berperan sebagai ibunya), dan mengerjakan tugas-tugas yang hanya bisa
dikerjakan di dini hari. Dan puji Tuhan lulus juga dengan nilai yang memuaskan.SPSS... Peneman di beberapa puluh purnama yang lalu =D
Lalu, saya pun melihat masa
kini. Sekarang tentunya saya sudah tidak bekerja. Saya ’hanya’ menjadi
asisten ibu rumah tangga, yang prestige-nya
kurang dibanding wanita karir. Hmmm....total kuliah sampai pascasarjana 5,5 tahun lalu hanya jadi
IRT. Jadi teringat kata-kata beberapa orang sih percuma dong pintar-pintar jadi
IRT doang (gubrak). Sekolah
tinggi-tinggi tapi ending-nya jadi
IRT yang notabene tidak ada penghasilan, sayang otaknya.
Karena hal ini, saya jadi merenung. Apakah esensi dari pendidikan? Apakah tujuan orang bersekolah hanya supaya bisa dapat pekerjaan? Atau kuliah tinggi-tinggi supaya bisa dapat gaji besar dan bisa jalan-jalan keluar negeri (sekarang belum bisa karena pandemi sih)? Atau tujuan pendidikan adalah menjadi terpandang di kalangan sosial karena karir yang keren?
Pendidikan, atau edukasi, berasal dari bahasa latin educare (ex dan ducere). Ex berarti sesuatu yang berada dari dalam jadi keluar dan ducere berarti menuntun, mengarahkan, atau memimpin. Dengan demikian, pendidikan berarti kegiatan untuk menuntun keluar potensi si anak. Pendidikan bukan sekedar mentransfer ilmu, tetapi juga proses untuk si anak mengembangkan dirinya. Bahkan untuk kami, esensi dari pendidikan adalah proses dimana si anak mengenali panggilan Tuhan dalam dirinya, mempunyai karakter Ilahi, apa yang dia dapat lakukan untuk memuliakan Tuhan, dan menjadi berkat bagi sesama.
Membuat fondasi yang baik bagi anak salah satu esensi pendidikan bagi kami |
Dengan esensi pendidikan diatas, dangkal sekali jika yang kita transfer hanya sekedar informasi dan ilmu. Dangkal sekali jika kita berpikir kalau tidak mendapatkan pekerjaan yang wah, tidak mendapatkan gaji yang double atau triple digit, tidak bisa jadi enterpreneur, tidak punya jabatan yang tinggi, berarti sia-sia kita sekolah. Tidak salah jika kita mendapatkan salah satu atau semua hal tersebut, tetapi itu bukanlah tujuan utama dari pendidikan dan alasan kita mendidik (baik sendiri atau menyekolahkan) anak.
As educator, we are passing on a life. Saat kita mengajar, bukan hanya materi yang kita bagikan. Lebih dari membagikan ilmu, kita membagikan hidup, hubungan, dan tentunya legasi iman. Kita ingin membangun karakter si anak. Jadi peran kita sebagai pendidik anak sangatlah istimewa.
Kalau gitu, tidak apa deh ya kalau si anak tidak bisa pelajaran A? Kan yang penting dia bisa mengembangkan dirinya. Uhm, gak gitu juga sih. Prinsip kami, kami tidak mengejar anak untuk jadi yang number one a.k.a paling hebat saat mengerjakan pelajaran. Di materi yang memang kelemahannya dia, setidaknya dia bisa yang menjadi hal dasar. Di bidang yang memang dia berpotensi, terus dikembangkan.
Contoh, bagi anak yang tidak jago dalam urusan olahraga, ya kita jangan mengejar dia menjadi atlet. Yang penting dia tahu hal yang dasar, seperti berlari, berenang, menangkap barang, dan berjalan. Kalau anak tidak bisa matematika (momok sejuta umat), bukan berarti tidak usah diajarkan dengan alasan ngitung kan bisa pakai kalkulator. Eits, tunggu dulu. Kalkulator hanya alat bantu menghitung, tetapi logikanya ada di kita. Logika salah, hitungan kalkulator kan salah juga. Kalau harusnya ditambah tetapi dikurang, kan tetap salah =D
Pengurangan yang menjadi media menggambar |
Selama yang dipelajari adalah materi dasar, maka saya akan tetap mengulang, walau si anak protes. Yang saya kejar adalah agar dia tidak menyerah dan mau memperbaiki kesalahan dia saat mengerjakan materi tersebut. Ada tangisan? Oh, tentu ada. Ada emosi? Oh, tentu ada. Apalagi kalau mamanya lagi hectic. Tapi diakhir, saat si anak bisa, dia bisa berkata ternyata kalau dicoba terus lama-lama bisa juga. Dan percaya deh, saat si anak berkata seperti itu, rasanya hati itu nyes banget.
Nah, setelah melewati drama, akhirnya benar juga. Walau tulisannya berpola |
Kembali ke pertanyaan diatas, jadi apakah percuma kuliah capek-capek (S1, S2, S3, es teler, dan es lainnya), lulus cum laude, magna cum laude, atau bahkan summa cum laude, lalu ending jadi ibu rumah tangga? Tentu tidak. Seperti ada istilah berkata menimba ilmu bisa dilakukan dimana saja dan dengan siapapun. Demikian juga mengamalkan ilmu yang kita pelajari bisa dimana saja dan dalam bentuk apapun. Setiap jenjang pendidikan yang kita lewati tentunya berdampak pada kita saat ini. Setiap pengalaman yang kita lalui, dapat kita bagikan pada anak-anak. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?
Selain itu, jika saya boleh melihat kebelakang, saya melihat melihat penyertaan Tuhan yang luar biasa. Begitu banyak kemurahan Tuhan yang saya alami. Kalau kita berkata percuma, berarti kita menafikan atau menyangkal karya Tuhan, penyertaan Tuhan, penyediaan Tuhan. Tidak ada yang percuma jika semua dalam jalurNya. Setiap hal dipersiapkan untuk memenuhi panggilanNya (walau terkadang penuh tangisan).
Jadi, kalau sudah tahu esensi pendidikan itu sendiri, harusnya kita (para mommies) tidak akan berkecil hati karena sekarang jadi ibu rumah tangga kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar