Rabu, 07 Juni 2023

Field Trip: Melihat Kota Tua Jakarta (part 2)

Selepas kami mengunjungi Museum Mandiri, kami pun mencari makan siang. Awalnya ada rencana mau ke Petak Sembilan. Namun melihat cuaca yang mendung, akhirnya kami pun mencari makan yang dekat dengan Museum Fatahillah, yaitu A & W.

Museum Fatahillah ini sebetulnya bernama Museum Sejarah Jakarta. Tetapi karena alamatnya di Jalan Taman Fatahillah Nomor 1, maka biasanya disebut Museum Fatahillah. Lebih pendek sih. Jadi lebih gampang kan sebutnya. Hehehe.

Gubernur Van Der Parra

Bangunan yang direnovasi ulang pada tahun 1707 – 1710 ini merupakan Balai Kota Batavia. Gedung yang konstruksi dan arsitektunya disebut mirip Istana Dam di Amsterdam ini diresmikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Abraham Van Riebeeck. Dan pada masa itu, balaikota mempunyai banyak fungsi. Bangunan ini menjadi Gedung serbaguna, kantor administrasi, lokasi bayar pajak, pusat berdoa, pengadilan, penjara, hingga tempat eksekusi tahanan. 

Perkembangan Balai Kota dari masa ke masa.

Saat kami datang, ternyata banyak pelajar yang sedang praktek kerja lapangan di sana. Oleh mereka kami diarahkan untuk masuk mulai dari bagian peninggalan sejarah. Katanya sih di sini ada sekitar 23.500 koleksi barang bersejarah, baik dalam bentuk asli maupun replika. 

Prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanegara

Di lantai satu, kami mulai melihat peninggalan pra sejarah dan lanjut ke replica prasasti-prasasti peninggalan kerajaan masa Tarumanegara dan Pajajaran. Bagi anak-anak, mereka seperti melihat barang-barang baru. Namun bagi saya, serasa diingatkan kembali ke pelajaran Sejarah saat masih sekolah dulu.

Prasasti Ciaruteun, berisi pujian untuk Raja Purnawarman yang tapak kakinya dianggap sebagai tapak kaki Dewa Wisnu.
Seperti gem stone kalau dari jauh.

Pisau di masa lampau.

Di lantai berikutnya kami diajak untuk mundur ke masa-masa Belanda. Perabotan tua yang mayoritas dari Jati, piring gaya Belanda, keramik dan porselein dari China mendominasi lantai tersebut. Kalau kata anak-anak, serasa pulang ke rumah lama.

Kursi ala Eropa
Kursi dari India.

Lemari kaca, seperti di rumah tua.
Lemari jati seperti di rumah tua.

Salah satu bagian yang paling terkenal dari Museum Fatahillah adalah penjara bawah tanah. Cut Nyak Dien dan Pangeran Diponegoro pun pernah merasakan diasingkan di penjara ini. Hanya bedanya karena Pangeran Diponegoro adalah seorang pangeran, maka penjara untuk Pangeran Diponegoro merupakan kamar di lantai 2. 

Pintu menuju kamar Pangeran Diponegoro. Pintu yang lain berada di area penjara.

Penjara ini digunakan untuk menempatkan para tahanan. Ada ribuan orang Tionghoa dan tokoh masyarakat yang berusaha memberontak terhadap Belanda ditahan di sini. Sebagian dieksekusi dengan hukuman mati dengan cara digantung.

Penjara wanita yang sangat tidak manusiawi, masuk harus merunduk, penuh genangan air dan lembab.

Penjara ini dibagi dua, yaitu penjara wanita dan penjara laki-laki. Keduanya berukuran kecil, mempunyai atap yang pendek dan sirkulasi udaranya sangat buruk. Di kaki mereka diberikan bandul pemberat kaki sehingga tidak mudah bagi mereka untuk melarikan diri. Dan jika air pasang, maka air akan masuk ke dalam penjara ini. Air tersebut akan menenggelamkan para tahanan. 

Penjara laki-laki dengan bandul di kaki para tahanan.

Salah satu yang juga menarik perhatian adalah lonceng besar. Katanya sih lonceng pertama berarti tahanan dibawa ke pengadilan. Lonceng kedua berarti tahanan sudah berada di ruang pengadilan. Lonceng ketiga berarti tanda si tahanan harus dieksekusi.

Halaman Balai Kota tempat eksekusi tahanan.

Saat mendengarkan kisah-kisah ini, satu hal yang kami ingatkan kepada anak-anak yang ikut. Kemerdekaan bangsa Indonesia dibayar dengan harga yang mahal. Banyak darah yang tertumpah, keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Dan yang berjuang pun bukan hanya segelintir suku. Semua suku berjuang. Etnis Tionghoa pun berjuang demi Indonesia (makanya Belanda berusaha mengadu domba etnis Tionghoa dengan penduduk setempat dengan cara memberikan kasta dan adu domba). 

Kisah tentang geger Pecinan tahun 1740 yang menunjukkan bahwa komunitas Cina juga berkontribusi dalam memperjuangkan hak bangsa Indonesia.

Untuk itu, kita yang tidak berjuang seperti mereka, hanya perlu berjuang untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kita berjuang untuk membuat bangsa ini menjadi lebih maju lagi. Sudah bukan masanya memandang orang berdasarkan suku, ras, dan agama. 

Meriam dari Cirebon, saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia.

Kunjungan kami sore itu diakhiri dengan berfoto di bawah patung dewa Hermes yang dipindahkan dari daerah Harmoni. Dan uniknya, kota Tua ini semakin ramai menjelang sore. Sepeda-sepeda, gatot kaca yang melayang, photo booth bersama noni Belanda pun semakin banyak. Kalau kata anak-anak, sudah seperti di Stadthuys di Melaka

Hermes dan Lynns
Saat Gatot Kaca belum bertugas dan duduk di depan TIC.

Sekilas Info

Museum Fatahillah

Alamat: Jl. Taman Fatahillah No. 1 Jakarta Barat

Jam operasional: 09.00 – 15.00

HTM: Rp 5.000 (Dewasa), Rp 3.000 (Pelajar)

Semakin sore, semakin ramai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar