Sumber foto: www.parenting.com |
Masih seputar topik mendisiplin anak. Rasanya topik ini akan selalu menjadi bahan omongan dari zaman baheula sampai zaman yang akan datang. Hehehe. Saat membahas tentang disiplin, pasti kita akan ketemu dengan namanya konsekuensi atas disiplin itu. Nah, buntutnya pasti akan timbul pertanyaan sejauh manakah suatu konsekuensi yang ditanggung anak dikatakan hukuman dan sejauh manakah hal tersebut dikategorikan disiplin. Saya dan suami pun masih sering bingung dengan hal tersebut. Kami ingin membuat anak mengerti bahwa kami tidak mau menghukum mereka, tetapi kami mau mendisiplin mereka. Dan seringkali orang lain di rumah, karena latar belakang mereka saat kecil ataupun karena mereka dulunya menghukum anak-anak mereka, salah mengartikan apa yang kami lakukan. Akibatnya terkadang anak jadi punya persepsi yang salah.
Bagaimana dengan hukuman? Konsep dasar hukuman adalah membayar seseorang berdasarkan perbuatannya, dan biasanya selalu menyiratkan sesuatu yang bersifat fisik. Yang tidak bersifat fisik juga dapat dikategorikan sebagai hukuman (jika tidak ada kesepakatan dan dalam jangka waktu yang terlalu lama). Sering kali, tanpa disadari, kita menghukum anak atas perbuatannya. Misal, anak kita makannya lama. Lalu kita berkata kepada si anak: "Sekarang kamu berdiri dan pegang piring kamu sambil makan sambil makanan kamu habis." Atau bisa juga si anak makannya sambil jalan-jalan. Lalu si Ibu berkata, kalau kamu turun dari bangku, Ibu pukul pakai hanger. Atau ada lagi seorang Ibu yang dengan bangga bercerita pada saya kalau anaknya makannya cepat karena dulu kalau makan lebih dari 30 menit, makanan anaknya dibuang dan anak tidak akan dapat makanan sampai jam makan berikutnya. Di satu sisi contoh-contoh diatas terlihat sepertinya memberikan efek jera kepada si anak, dan si anak jadi makan cepat, tetapi sebetulnya ada suatu aktifitas yang bertujuan untuk menghukum anak, menurut saya ya.
Saya tahu sekali rasa sebal dan frustasi kalau punya anak yang makannya lama, si adik juga makannya tergantung mood, kadang cepat kadang lama. Rasanya seluruh waktu hanya tersita untuk si kecil ini. Tetapi mungkin karena saya waktu kecil lebih lama dari dia, jadi saya tidak pernah menghukum dia. Lebih tepatnya sedikit tricky dengan dia. Lalu, bagaimana caranya supaya makannya jauh lebih cepat? Saya juga bingung jawabnya. Dari saat anak-anak belajar makan, anak-anak biasa duduk di high chair dan makan sendiri. Saya menyuapi dia, dan di meja dia juga ada piring berisi makanan. Tetapi begitu besar, adik mulai berulah makannya. Biasanya sih adik akan duduk saat makan bersama. Makan sendiri, tapi ya gayanya dia. Tetapi begitu satu persatu selesai, dia akan mulai kabur juga. Ya mau tidak mau, akan ada panggilan untuk dia kembali duduk. Tetapi karena ada kesepakatan jika makan tidak habis, tidak dapat nonton film favorit mereka, ya kami hanya akan mengingatkan kesepakatan itu. Atau kalau dia kabur dari bangku, saya akan duduk bersama dia dan memegang dia sampai makannya habis. Kalau memang pas saya sedang sibuk banget, saya agak fleksibel, agak merem dulu kalau dia makannya lama dan sambil main. Entah ini disiplin atau tidak menurut orang lain, tetapi setidaknya bagi saya tidak ada bentuk hukuman fisik untuk si kecil.
Sebetulnya, apa sih perbedaan hukuman dan disiplin?
1. Hukuman bertujuan untuk menghukum si anak akibat suatu pelanggaran yang terjadi di masa lampau. Sedangkan disiplin bertujuan untuk mengkoreksi anak dan mendewasakannya sehingga di masa yang akan datang si anak tidak mengulanginya.
2. Hukuman muncul karena pelanggaran yang terjadi di masa yang lampau, biasanya setelah si anak berbuat, barulah si orang tua berkata kamu bla bla bla dan kemudian menghukumnya. Sedangkan karena disiplin bertujuan untuk mengkoreksi, maka dalam pendisiplinan ada yang namanya kesepakatan sebelum suatu pelanggaran terjadi. Jadi suatu tindakan pencegahan.
3. Dalam hukuman, seringkali rasa frustasi yang menjadi landasannya. Kita merasa frustasi kenapa anak kita tidak bisa dibilangi, dan terkadang, dalam bahasa yang agak lebay, kita merasa dikhianati oleh anak kita saat mereka melakukan pelanggaran. Sedangkan dalam disiplin, yang menjadi landasan adalah rasa sayang kita akan si anak sehingga kita concern akan sikapnya. Biasanya awalnya adalah rasa sayang dan concern kita akan sikap si anak, tapi setelah berbagai cara kita lakukan, kita lama-lama frustasi. Saya juga kadang berpikir begitu kok, kalau sudah sampai titik ini, yang harus dilakukan adalah duduk manis, cari kopi, merenungkan kembali, dan berdoa supaya saya tidak lari dari landasan yang tepat.
4. Karena terbentuk dari rasa frustasi dan hukumannya tidak pernah disepakati sebelumnya (atau disepakati tetapi terlalu bermain fisik), akibat dari hukuman adalah rasa insecure, dan takut. Karena takut, sebagian anak akan belajar untuk berbohong supaya tidak dihukum. Berbeda dengan disiplin, karena dasarnya adalah kasih dan sudah ada kesepakatan sebelumnya, jadi si anak tahu apa yang akan terjadi jika dia melakukan suatu pelanggaran, anak akan merasa aman. Walaupun saat mendisiplin akan ada drama sedikit, kan senjata utama anak kecil adalah air mata, tetapi karena mereka tahu konsekuensi dari apa yang mereka lakukan, maka jika mendapatkan konsekuensi dia tetap tahu orang tuanya sayang dia.
Pernah suatu kali seorang anak laki-laki berumur 5 tahun, katakanlah A, bermain dorong-dorongan dengan anak lain yang baru umur 3 tahun, katakanlah B, di depan saya dan ibu dari si B. Lalu mungkin dorongnya terlalu kuat, karena secara badan si B sama besarnya dengan si A, maka si A terjatuh. Lalu teman si A bilang si B memukul A sampai jatuh. B yang masih 3 tahun bingung saat ditanya oleh mamanya. Karena bingung, B berkata dia tidak memukul A. Si A ngotot berkata iya, dan berkata pasti B tidak mau bilang karena takut dimarahi mamanya. Akhirnya ibu dari si B bertanya lagi, dengan bahasa yang lain, dan si B baru mengakui kalau si B mendorong si A karena sedang bermain. Masalah terselesaikan dengan si B meminta maaaf dan memeluk si A. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah kata-kata si A yang mengatakan pasti tidak mau mengaku karena takut dimarahi. Bisa jadi di rumah seringkali si A dimarahi atau dihukum karena melakukan sesuatu. Bisa jadi juga dia tidak mengaku saat ditanya, atau mengaku tetapi membuat pembelaan diri yang sangat bagus. Jadi dengan pengalaman dia, dia berasumsi hal yang sama. Saat itu saya baru mengerti dengan baik hasil dari hukuman terhadap sisi emosi si anak.
Ada juga soal yang diberikan oleh teman saya yang ahli dalam hal ini kepada kami saat pelatihan guru sekolah minggu. Jika balita melakukan pelanggaran, kemudian orang tua tidak menghukum dengan memukul tetapi tidak mengijinkan si anak main gadget selama 6 bulan, apakah ini termasuk hukuman atau disiplin? Banyak yang menjawab disiplin, kan tidak memukul, dan membuat anak tidak tergantung gadget 6 bulan. Saya saat itu menjawab hukuman, namanya balita mana ngerti waktu enam bulan, tujuannya sudah kabur nanti. Ternyata jawabannya memang itu adalah hukuman. Jangka waktu yang terlalu lama tidak membuat anak menangkap esensi dari disiplin malah membuat anak merasa dihukum. Jika mau, berikan batasan waktu yang jelas.
Pernah suatu kali seorang anak laki-laki berumur 5 tahun, katakanlah A, bermain dorong-dorongan dengan anak lain yang baru umur 3 tahun, katakanlah B, di depan saya dan ibu dari si B. Lalu mungkin dorongnya terlalu kuat, karena secara badan si B sama besarnya dengan si A, maka si A terjatuh. Lalu teman si A bilang si B memukul A sampai jatuh. B yang masih 3 tahun bingung saat ditanya oleh mamanya. Karena bingung, B berkata dia tidak memukul A. Si A ngotot berkata iya, dan berkata pasti B tidak mau bilang karena takut dimarahi mamanya. Akhirnya ibu dari si B bertanya lagi, dengan bahasa yang lain, dan si B baru mengakui kalau si B mendorong si A karena sedang bermain. Masalah terselesaikan dengan si B meminta maaaf dan memeluk si A. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah kata-kata si A yang mengatakan pasti tidak mau mengaku karena takut dimarahi. Bisa jadi di rumah seringkali si A dimarahi atau dihukum karena melakukan sesuatu. Bisa jadi juga dia tidak mengaku saat ditanya, atau mengaku tetapi membuat pembelaan diri yang sangat bagus. Jadi dengan pengalaman dia, dia berasumsi hal yang sama. Saat itu saya baru mengerti dengan baik hasil dari hukuman terhadap sisi emosi si anak.
Ada juga soal yang diberikan oleh teman saya yang ahli dalam hal ini kepada kami saat pelatihan guru sekolah minggu. Jika balita melakukan pelanggaran, kemudian orang tua tidak menghukum dengan memukul tetapi tidak mengijinkan si anak main gadget selama 6 bulan, apakah ini termasuk hukuman atau disiplin? Banyak yang menjawab disiplin, kan tidak memukul, dan membuat anak tidak tergantung gadget 6 bulan. Saya saat itu menjawab hukuman, namanya balita mana ngerti waktu enam bulan, tujuannya sudah kabur nanti. Ternyata jawabannya memang itu adalah hukuman. Jangka waktu yang terlalu lama tidak membuat anak menangkap esensi dari disiplin malah membuat anak merasa dihukum. Jika mau, berikan batasan waktu yang jelas.
Saya pernah membaca suatu artikel yang cukup membuat saya berpikir dan berpikir dan bertobat :D
Di artikel tersebut dikatakan bahwa dalam Alkitab, landasan hubungan kita dengan Tuhan adalah kasih karunia atau grace. Tuhan akan mengkoreksi kita, dan Tuhan bukanlah allah yang suka melihat kesalahan masa lampau. Oleh sebab itu, sangatlah tidak masuk akal jika hubungan kita dengan Tuhan berlandaskan kasih karunia dan hubungan kita dengan anak berdasarkan penghakiman.
Saat saya membacanya, saya berpikir bahwa tugas saya sebagai orang tua bukan untuk menghukumnya. Tugas saya adalah memberikan konsekuensi logis dan instruksi yang dapat menolong mereka mengerti bahwa apa yang mereka lakukan tidak menyukakan Tuhan dan juga orang tuanya. Selanjutnya mengajar mereka untuk mengerti apa yang Tuhan ingin mereka lakukan.
Indah sih pemahaman tersebut. Tetapi pelaksanaannya, jauh dari mudah. Dan namanya anak-anak, pasti akan mengulang lagi kekonyolan yang sama, yang bisa membuat kita meledak. Namanya juga manusia, bukan berarti kita tidak bisa marah, bukan? Dan bukan berarti karena kita tidak melakukan disiplin berdasarkan emosi maka kita tidak akan merasa marah. Nah, walau tujuan pendisiplinannya benar, tetapi saat kita menyampaikan ke anak dengan suara yang sudah naik dua oktaf, maka hal ini dapat membuat si anak bingung. Akibatnya yang ditangkap anak adalah emosinya.
Artikel tersebut juga menyarankan agar salah satu pihak menenangkan diri dengan cara masuk ke dalam kamar, atau si anak disuruh berpindah ke salah satu spot, untuk berpikir atau menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah tenang, baru orang tua mendisiplin si anak atau menjelaskan kenapa mereka didisiplin. Saya rasa masuk akal juga.
Jika ini terjadi pada saya, seringkali saya ajak anak ke kamar untuk berbicara, otomatis sambil berjalan saya mengambil waktu untuk menenangkan hati sambil berdoa supaya saya bisa menyampaikan segala sesuatunya dengan tenang. Terkadang saya juga mengatakan bahwa saya sungguh sedih atau marah atas apa yang diperbuatnya dan pastilah Tuhan lebih sedih karena Tuhan ingin kita untuk melakukan yang menyenangkan hatiNya. Dan saya akan mencoba menjelaskan apa yang dapat dia lakukan untuk tidak mengulanginya. Dan setelah itu saya akan bertanya lagi kepada dia kenapa saya mendisiplin dia. Tujuannya jelas, supaya dia mengerti kenapa saya mendisiplin dia. Namanya anak-anak, terkadang saat diajak ngomong suka mikirin yang lain. Kalau dia belum ngerti, kadang saya jelaskan lagi. Percayalah, terkadang saat saya menjelaskan ulang kepada anak-anak, saya pun menahan diri saya untuk tidak menaikkan suara.
Sebagai penutup, Amsal 22:15 mengatakan "kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya". Bagi saya, kata tongkat didikan berarti disiplin itu sendiri. Jadi memang tujuan pendisiplinan adalah untuk mendidik. Kalau mendidik, berarti kita mengharapkan hasilnya bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga di masa yang akan datang. Dengan demikian, disiplin berarti memberikan konsekuensi logis yang mendorong anak untuk membuat pilihan yang lebih baik di masa yang akan datang. Pertanyaan yang akan timbul bagi kita orang tua adalah apakah kita juga dapat untuk mengendalikan diri kita sehingga dalam proses pendisiplinan anak-anak kita bukannya emosi dan hukuman yang keluar dari tindakan kita, melainkan kasih? Kalau sendiri, pasti tidak bisa. Tapi bersama Tuhan, kita pasti bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar