Jumat, 12 Oktober 2018

Sarmidi Mangunsarkoro, Pendidik dan Pejuang Tiga Zaman


Memasuki bulan Oktober, kembali kami mendapatkan undangan dari Museum Sumpah Pemuda untuk melihat pameran tokoh kemerdekaan. Kali ini tokoh yang diambil adalah Sarmidi Mangunsarkoro. Pasti banyak yang tidak mengetahui beliau. Beliau adalah salah satu tokoh yang berusaha memajukan pendidikan di Indonesia dan juga salah satu tokoh Tamansiswa.
Bukti kehadiran kami =D 
Saat melihat udangan, adik bertanya kenapa Sarmidi disebut Tokoh Tiga zaman. Kami pun menjelaskan tokoh tiga zaman berarti perjuangan Sarmidi sudah dimulai sejak zaman Belanda, Jepang dan sampai Indonesia merdeka.

Sarmidi Mangunsarkoro lahir pada 25 Mei 1904 di desa Banyuanyar, kecamatan Colomadu, kotamadya Surakarta. Ayahnya, yang bernama Mangunsarkoro, bekerja dalam lingkungan Kraton Kasunanan Surakarta sebagai kepala desa Banyuanyar. Sarmidi merupakan anak kelima dari lima bersaudara.

Pada tahun 1929 Sarmidi Mangkunsarkoro menikah dengan Sri Wulandari dan memiliki delapan anak, namun anak pertamanya yang kembar meninggal dunia saat lahir. Sarmidi terkenal sebagai pribadi yang hangat dan mengasihi keluarganya. Walaupun beliau sibuk, namun beliau selalu meluangkan waktu untuk berlibur dengan keluarga. Dan beliau senang mengajarkan anak-anaknya untuk hidup mandiri dan sederhana. Kesederhanaannya pun nampak dalam penampilannya.
Sarmidi dan Sri Wulandari 
Sejak usia belia, Sarmidi sudah melihat perbedaan kehidupan sosial antara golongan priyayi yang berkehidupan cukup dan golongan rakyat jelata sebagai golongan yang tidak mampu di lingkungan tempat tinggal orang tuanya. Sarmidi Mangunsarkoro mengikuti pendidikan pada tahun 1914 di sekolah Ongko Loro yang terletak di Sawahan, Surakarta. Sarmidi melihat sekali bagaimana golongan Bumiputera dibedakan dengan sekolah orang Eropa.

Setelah lulus, beliau melanjutkan pendidiikan ke Sekolah Teknik Prinses Juliana School (ST-PJS) Yogyakarta pada tahun 1823. Jurusan yang diambil adalah teknik bangunan air. Namun ternyata passion beliau juga ada di bidang pendidikan. Di sini pun beliau sering berdebat dengan para pengajar tentang kesetaraan dalam bidang pendidikan.
Baju yang selalu dikenakan Sarmidi sebagai ciri kesederhanaannya.  
Pada tahun 1926 Sarmidi melanjutkan pendidikannya di sekolah Guru Arjuna di Jakarta. Di sekolah ini Sarmidi ditempat sebagai calon pendidik. Dan setelah lulus dari sekolah Guru Arjuna, Sarmidi kembali ke Yogyakarta dan memutuskan untuk meniti karir sebagai pengajar di Taman Siswa. Beliau menerapkan ilmu yang didapatnya saat belajar di Sekolah Guru Arjuna. Beliau memberikan pendidikan karakter kepada para siswa, sesuai dengan budaya leluhur, bukan budaya dari negara lain. Sarmidi juga mengajar secara demokratis dan memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat dan kemampuan mereka, sehingga membentuk para siswa menjadi manusia yang berkepribadian, berkarakter, bertanggungjawab, dan menjunjung nilai-nilai budaya yang luhur.
Anggota organisasi Theosofi. 
Sarmidi membawa Tamansiswa ke Jakarta
Sekolah masa dulu, menonjolkan nilai budaya yang ada.
Selain mengajar, Sarmidi juga aktif dalam perjuangan dengan mendirikan organisasi Pemuda Indonesia cabang Yogyakarta pada tahun 1927. Pemuda Indonesia adalah salah satu organisasi pemuda yang bersifat nasional tanpa membeda-bedakan suku dan agama. Karena gagasan inilah Sarmidi pun ikut dalam Kongres Pemuda II yang akhirnya mencetuskan Sumpah Pemuda.
Tamansiswa 
Sekolah di masa dulu, menjunjung nilai budaya.
Setelah Indonesia merdeka, di tahun 1947, Ki Hajar Dewantara memberikan kepercayaan kepada Sarmidi untuk menetapkan azas perjuangan pendidikan Tamansiswa. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, beliau membentuk panitia yang diberi nama “Panitia Mangunsarkoro” dan berhasil merumuskan dasar-dasar pendidikan Tamansiswa yang diberi nama “Panca Darma Tamansiswa”.
Vandel Tamansiswa 
Visi Sarmidi dalam bidang pendidikan adalah agar seluruh anggota masyarakat khususnya generasi muda, dapat menempuh pendidikan yang sesuai dengan karakter dan budaya Indonesia. Sarmidi konsisten dengan visi tersebut. Dan buah dari kerja kerasnya, beliau dipercaya sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada kabinet Hatta pada 1949, dan kabinet Halim pada 1950. Beliau juga memiliki andil besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, khususnya generasi muda dengan menjadi salah satu pendiri Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Prestasi terbesarnya selama menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan adalah mengesahkan UU no.4 tahun 1959 sebagai UU Pendidikan Nasional pertama di Indonesia.
Bersama dengan Ki Hajar Dewantara. 
Tahukah kamu?
Pada tanggal 1 Juni 1957, saat sedang menghadiri sidang di DPR, Sarmidi tiba-tiba dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat. Selama berada di RSUP, Sarmidi mendapatkan perawatan intensif. Namun dikarenakan radang selaput otak, Sarmidi pun meninggal dunia pada 8 Juni 1957. Sebelum dibawa ke Yogyakarta, jenazah Sarmidi disemayamkan terlebih dahulu di rumah duka di Jalan Jogja nomor 37 Menteng.
Penghargaan bagi Sarmidi yang diwakili anaknya. 
Jenazah Sarmidi Mangunsarkoro dikebumikan di Taman Wijaya Brata Yogyakarta yang merupakan makam untuk keluarga besar Tamansiswa. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta, atas permintaan masyarakat, kereta api yang membawa jenazah Sarmidi Mangunsarkoro berhenti di setiap stasiun sebagai bentuk penghormatan terakhir masyarakat kepada Sarmidi atas jasanya dalam bidang pendidikan dan pergerakan.
Nama jalan di daerah Menteng. 
Piagam yang diterima oleh Sarmidi
Piagam Gelar Pahlawan bagi Sarmidi. 
Piagam dari Tamansiswa.
Apa yang anak-anak dapatkan dari mengenal kisah Sarmidi? Dari sosok Sarmidi, anak-anak melihat seorang pribadi yang berusaha memajukan pendidikan di Indonesia tanpa memandang suku, agama, ataupun golongan. Sarmidi secara konsisten menjaga kemerdekaan Indonesia secara berdaulat. Sarmidi pun menunjukkan kesederhanaan yang bukan hanya slogan tetapi juga dalam kehidupan sehari-harinya. 
Tembok penghargaan. Ucapan terima kasih dari masyarakat untuk Sarmidi Mangunsarkoro.
Kuote dari Sarmidi.
Pameran ini akan terus berlangsung hingga tanggal 3 November 2018. Bagi yang berminat, silakan saja langsung datang ke Museum Sumpah Pemuda ya. 
Kenang-kenangan yang kami terima.
Photo booth yang disediakan untuk pengunjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar