Homeschool blues? Siapanya baby blues sih itu? Untuk mama-mama yang punya bayi, pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya baby blues. Baby blues merupakan kondisi suasana hati yang dialami oleh ibu-ibu yang baru saja melahirkan. Nah, homeschool blues agak mirip-mirip. Bedanya homeschool blues tidak berhubungan dengan bayi.
Saat kita menikah dan mempunyai anak, menjadi orang tua merupakan suatu privilege. Tetapi berbicara tentang parenting, dapat mendidik anak kita sendiri merupakan berkat dan panggilan khusus bagi kita. Tidak semua orang mempunyai panggilan untuk melakukan homeschool. Challenging? So pasti, karena seperti minimarket yang buka 24/7, kita juga bertemu anak 24/7.Tentu mengajar anak yang berpadu dengan ulah anak pun akan menjadi tantangan tersendiri. Apalagi untuk mamak-mamak yang tidak ada helper.
Homeschool blues merupakan masa-masa dimana kita merasa galau dan terkadang rasanya tidak waras lagi. Penyebab galau itu bisa banyak hal. Kadang sebagai mama kita merasa kurang menjadi mama yang baik. Atau bisa juga kita tidak merasa mumpuni untuk mendidik anak-anak kita. Kita merasa kurang kreatif. Akibatnya kita memiliki guilty feeling atau perasaan bersalah kepada anak-anak.
Saat homeschool tidak berjalan seperti yang kita inginkan pun dapat menyebabkan kita merasa tidak waras. Keadaan rumah yang tidak kondusif, saat anak-anak gelut ataupun adu mulut juga dapat membuat kita merasa tidak waras. Lagi perang dingin dengan kepala sekolah di rumah (baca: pak suami) juga bisa membuat kita tidak waras. Intinya ada banyak hal yang dapat membuat kita galau dan tidak waras dalam menjalankan homeschool.
Lalu bagaimana untuk mengatasinya? Kan tidak mungkin kita galau terus. Bagaimana kita dapat mengajar dengan baik jika kita terus menerus galau? Bagaimana kita dapat mendidik dengan baik jika kita sendiri tidak waras?
Apakah saya pernah merasa tidak waras dan merasa blue? Tentu saja pernah, namanya juga masih manusia. Adanya anggota baru, pandemi yang datang tanpa diundang dan malah bermutasi ini membuat kami harus melakukan berbagai perubahan dalam rumah. Apalagi kami dipercayakan untuk menjaga orang tua kami (yang berarti tanggungjawab yang lebih berat daripada mengurus anak). Belum lagi pengetatan budget disana sini membuat saya merasa tidak menjadi mama yang cukup baik untuk anak-anak.
Tetapi saya tidak membiarkan rasa galau itu menguasai saya. Seperti baby blues yang harus dibenahi, maka homeschool blues pun harus dibenahi. Ada beberapa hal yang saya lakukan untuk membuat saya tidak galau dan menjaga kewarasan saya dalam mendidik anak-anak.
Sumber foto: pinterest |
1. Tetap terkoneksi dengan Tuhan.
Untuk yang satu ini, sudah pasti no other option. Meluangkan waktu untuk memberi makan jiwa dan roh kita merupakan hal yang penting. Hanya Dia sumber kekuatan dan sukacita kita. Kalau Tuhan yang memberikan panggilan untuk mendidik anak-anak, maka Tuhan juga yang akan memperlengkapi.
Sumber foto: europeanceo. |
2. Berbagi dengan suami.
Selain sebagai kepala keluarga dan kepala sekolah, suami adalah support system dan advisor pertama kita. Oleh sebab itu, sama seperti baby blues, suami menjadi support system pertama, maka saat mengalami homeschool blues, berbagilah dengan suami. Ini mengapa pentingnya kata sepakat antara suami dan istri saat memulai homeschool. Walaupun suami sibuk, namun karena pendidikan adalah komitmen bersama, maka pasti suami mau menjadi tempat berbagi keluh kesah kita.
Saat corona belum berkunjung |
3. Milikilah support system, yaitu komunitas yang sevisi.
Homeschool, yang orang tuanya terlibat mengajar dan mendidik sendiri, merupakan perjalanan yang panjang dan berproses di orang tua terlebih dahulu. Jadi yang pasti capek ya orang tuanya dulu. Makanya banyak yang merasa paling merana, paling susah dalam mengajar anak-anak. Inilah gunanya komunitas yang sevisi. Komunitas membuat kita bisa curhat dan mendapatkan support dalam menjalani homeschool ini. Dalam komunitas yang sevisi ini, kita tetap akan berjalan bersama dalam visi yang sama, untuk menggenapi panggilan yang Tuhan berikan.
Monthly planner untuk semester ini |
4. Buatlah perencanaan yang realistis dan belajar fleksibel.
Buat saya,
perencanaan itu penting. Sejak zaman sekolah dulu, saya paling suka membuat
jadwal harian, list yang harus dikerjakan, monthly planner, dan weekly
planner. Mengapa? Saya butuh sesuatu yang feasible dan dapat diukur.
Banyaknya kegiatan di sekolah (saya paling suka ekskul), kegiatan gereja,
jadwal mengajar les, membuat saya merasakan manfaat adanya
perencanaan-perencanaan. Saya dapat mengukur seberapa banyak yang dapat saya
kerjakan, apa yang nyatanya tidak realistis, dan apa yang harus saya kerjakan.
Walau terkadang ada yang tidak dapat dikerjakan, setidaknya saya dapat
mengetahui apa yang harus dilakukan. Disinilah karakter fleksibel dilatih, agar
kita dapat beradaptasi dengan keadaan yang ada. Untuk mengetahui cara membuat academic year planning, silakan klik link ini ya.
5. Ciptakan atmosfer yang nyaman.
Atmosfer yang nyaman bagi setiap orang berbeda. Ada yang nyaman kalau mencium bau aroma terapi. Ada yang nyaman kalau memulai hari dengan minum susu. Kalau saya, kesukaan saya dari zaman baheula adalah mendengarkan musik saat bangun tidur. Kebiasaan ini terbawa hingga sekarang. Dengan adanya musik sepanjang hari, membuat suasana hati sedikit lebih tenang. Dan berhubung sehari-hari ada anak-anak yang ikut mendengarkan, maka musik yang didengarkan tentunya yang dapat membangun semangat.
A cup of coffee for relax time |
6. Tetap melakukan sesuatu yang menjadi kesukaan kita.
Memilih menjadi ibu memang berarti bersedia untuk memberikan waktu, harapan, tenaga kita untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan tugas seorang ibu. Tetapi ada waktunya juga kita melakukan sesuatu yang menjadi kesukaan kita. Bukan berarti kita egois, tapi bijak dalam menggunakan waktu. Sebagian orang bilangnya sih ‘me time’, yang buat saya dari awal terkesan egois (dan ternyata ada senior kami yang sependapat dengan opini saya ini) dan menuntut (teringat salah seorang teman yang sering menitipkan anak ke keluarga dan berkata dia butuh me time, tanpa memikirkan perkembangan anaknya).
Saya lebih suka menyebutnya relax time, waktu dimana saya dapat melakukan hal yang sukai. Biasanya saat si bayi tidur dan si kakak sedang ada les. Saya sering menggunakannya untuk membaca, menulis, atau duduk manis minum kopi atau teh sambil mengerjakan urusan pekerjaan (ya ,saya nyambi bantuin si papa kerja) atau sambil periksa worksheet anak-anak (yang penting bisa ngopi atau ngeteh). Di waktu-waktu inilah saya merasa lebih relax.
For me, homeschool is a long journey. It shapes us as a family. Oleh sebab itu, butuh hal-hal yang saya suka sebut 5K. 5K itu adalah Kasih Karunia, Kekuatan, Keuangan, Komunitas, dan Kewarasan. Kasih karunia berarti kita membutuhkan anugerah Tuhan untuk menjalani ini. Kekuatan buat saya pasangan yang saling menopang saat mendidik anak-anak, mentransfer virtue lebih dari pengetahuan. Keuangan yang berarti walau anak tidak sekolah, tetapi tetap saja membutuhkan biaya dalam perjalanannya. Itu sebabnya, menabung itu penting (macam program pemerintah zaman kita kecil). Komunitas sebagai support system, sehingga dalam perjalanannya, kita tidak merasa sendiri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kewarasan. Tanpa adanya kewarasan, lama-lama kita akan merasa terkuras habis tanpa diisi kembali.
Dengan adanya 5K tersebut, kita dapat mengubah blues tersebut menjadi bless =D
So, no more homeschool blues kan?
PS: kalau mulai feeling blue lagi, ulang langkah diatas ya (talk to myself first) =D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar